Thursday, March 08, 2007

tentang seseorang [sisi lain]

‘apa sih yang kau cari?’ saat mengomentari kesenanganku duduk di bangku depan kamar kost tiap hari saat lewat tengah malam. Memandang bintang, mendengar nyanyian serangga, mengamati gerakan ranting dan dedaunan pohon.
‘aku suka seperti ini, sendiri dalam kesenyapan yang selalu mendatangkan ketenangan dalam diriku. Menghadirkan inspirasi untuk semua tulisan dan perenunganku’
‘kurang kerjaan…lagian kebiasaanmu itu bisa mendatangkan penyakit. Sayangilah fisikmu juga’

‘ramai banget, bising. Gimana kau bisa tahan dengan situasi seperti ini?’. Saat kujajari langkah kakimu menapak setiap sudut di Mall yang ada di Makassar. Kau hanya tersenyum lalu tergelak. Pernah kucoba bertahan, namun aku jatuh. Segera saja kupercepat langkahku ke satu-satunya tempat tenang di Mall, Toko Buku Gramedia. ‘aku menunggu di sana saja, sampai kau menyelesaikan semua keperluanmu’. Kau mengangguk, tersenyum.

‘dimana-mana, kalau orang ultah itu dirayakan. Minimal sama teman-teman dekatlah’ komentarmu waktu mendapatiku sendirian di kamar membaca buku di hari ulang tahunku.
‘ini sudah dirayakan, dengan membaca’
‘sesekali keluarlah, bersenang-senang. Rayakan sama teman-teman. Jangan mengurung diri sendirian’
‘sekarang tidak lagi kan? Ada kau di sini yang menemani’
Kau hanya menghela nafas. Kemudian mengeluarkan buku dan kue tart coklat dari dalam tas besarmu. Mengulurkannya ke tanganku sambil berkata ‘Happy Birthday’

‘semoga makin dewasa mengukir sejarah’ begitu bunyi sms yang kukirim di hari ultahmu. Dan segera saja HPku berdering, mendengarkan semua cerita tentang harapan, mimpi dan cita-citamu di masa datang.
Aku tahu, kau menginginkan boneka beruang itu. Dan kau tahu, aku bisa memberikannya untukmu. Namun tak kulakukan.
‘kenapa?' Tanyamu
‘aku hanya ingin memberikanmu boneka Red Devil (simbol klub sepakbola Manchester United) atau boneka Tux (Pinguin Linux). Namun meskipun sudah hunting, belum juga saya dapatkan benda itu. Ada yang saya dapat, kurang suka lagi sama bentuknya. Sudah pesan sama teman di Bandung, tapi sampai sekarang belum dibalas-balas juga’. ‘maaf, belum bisa memberimu hadiah’ lanjutku.
‘yang itu saja, saya suka yang itu’ kau tetap bertahan dengan boneka beruang.
‘aku memberikan hadiah pada orang lain, apa yang kusuka. Bukan yang disukai oleh orang itu’
‘Aneh...’kau bergumam sendirian.

‘aku suka senja hari. Memandang semburat cahaya jingga matahari yang sebentar lagi akan memasuki peraduannya. Menggantikan teriknya siang. Selalu menyenangkan’ katamu waktu aku duduk di dekatmu beberapa kali di tepi danau.
‘aku lebih suka pagi hari dengan kesegaran suasananya. ,menghadirkan semangat hidup yang membara seperti pijar matahari yang melesatkan larik sinarnya dalam cahaya yang terang. Senja hanya mengingatkanku pada kematian’ aku melanjutkan perkataanmu.
Selanjutnya, sepi melingkupi. Hanya kecipak dan riak air danau yang menyela. Sampai malam menurunkan tirainya dan aku mengantarmu pulang ke rumah.

Kau senang dengan drum dan gitar, aktraktif katamu. Aku cinta biola dan harpa, alat musik dewa kataku.
Kau suka laut dengan deru ombak dan sapuan anginnya. Aku lebih memilih gunung dengan kedamaian dan kesenyapan suasana hutannya.

..... ..... ..... ..... .....

‘Kau egois’ katamu akhirnya.
‘Kita memang berbeda’ jawabku

..... ..... ..... ..... .....

Ketika itu, kita pernah sedemikian angkuh. Seolah memiliki kuasa, ingin mendahului ketetapan Sang Khaliq. Sampai waktu menjawabnya. Bahwa kita tidak dan bukan apa-apa dan siapa-siapa. Semata makhluk lemah yang seharusnya tunduk pada aturan yang telah digariskan oleh-Nya.

Memaksa menggabungkan 2 karakter hidup yang saling bertolak belakang cukup dengan tekad bagaimana saling mengerti dan saling menghargai. Namun tidak diikat oleh ikatan suci yang dibahasakan Sang Maha Rahman dengan -mitsaqan ghaliza-.

Dan kita pisah.

..... ..... ..... ..... .....

‘kita memang tak bisa bersatu. Masing-masing kita terlalu egois. Kita hanya akan saling menyakiti jika tetap bersama.’ Kau memulai percakapan.

‘ visi kita memang beda. Dan aku sama sekali tidak bisa mencari titik temu antara ideologi yang kau pahami dengan yang kupahami. Lagian, sekarang saya menemukan lingkungan yang mengajarkan aku tentang makna segala sesuatu. Yang mengajariku bahwa yang kulakukan ini salah. Makanya, maaf jika aku pernah berucap cinta padamu. Rasulku tak pernah mengizinkan sampai waktunya halal untuk itu.’ Jawabku.

‘kita masih tetap berinteraksi kan, sebagai sesama saudara?’

‘siammo totti fratelli, tentu saja’

kak... jika dalam perjalanan hidupmu nanti, kau menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta, janganlah membangun special relationship lagi seperti yang pernah kita lakoni. Nikahilah ia jika memang engkau mencintainya’

‘kau tentu sudah tahu, ini pertama kalinya aku jalan dengan perempuan. Dan aku hanya bisa bilang, ini yang terakhir kalinya. Jika suatu hari kelak kau mendapatiku berjalan bersama perempuan, aku bisa meyakinkanmu bahwa itu adalah istriku’

..... ..... ..... ..... .....

Kemarin, sempat jalan-jalan ke blog-mu. Baca-baca arsip yang terekam di sana. Kudapati beberapa tulisan di sana tentang ‘dia’ yang telah mengisi hari-harimu.
Memori itu kembali muncul di ingatanku. Sore terakhir kebersamaan yang pernah kita jalin bersama. Ketika kita memutuskan untuk mengakhiri semua ini. Getir, kucoba tersenyum.

Apakah kau telah luruh, menginjak-injak kalimat yang telah kau katakan sendiri dengan ketegaran di waktu itu? Tak kuatkah kau bertahan dengan kesendirianmu? Dan berusaha membunuhnya dengan kembali menjalin hubungan seperti yang lalu-lalu? Mengapa tak kau minta dia untuk datang melamarmu, seperti yang pernah kau katakan kepadaku jika suatu hari kelak aku menemukan seseorang yang kucintai, tanpa harus membangun special relationship?

Ah... maaf. Seharusnya tak pantas aku mencampuri kisah hidup yang akan kau tulis. Bukankah pernah kukatakan padamu bahwa tiap kita berhak untuk menulis sejarah kita sendiri? Entah dengan menggunakan tinta merah, hitam, atau emas.

Kau telah memilih sejarahmu, akupun telah memilih sejarahku.

Rabb...kuatkan aku dengan pilihanku, seperti ketegaran yang kau anugerahkan di jiwaku saat menulis narasi untuknya tentang unique angel

Labels: