Thursday, June 28, 2007

Tentang Seseorang 5 [brigade 013]

Ia selalu memanggilku dengan sebutan 'komandan'. Mungkin sebagai 'balasan' kenyataan bahwa aku juga selalu memanggilnya 'panglima'. Dia yang memakai nick name 'brigade 013' dalam setiap tulisan-tulisannya yang kebanyakan bertema tentang totalitas perjuangan, keharusan berbangga dengan izzah keislaman di hadapan ideologi lain yang makin meracuni pikiran sebagian manusia, serta tentang kedisiplinan.

Perawakannya bagus. Dengan tinggi yang proporsional. Sesuai dengan jurusannya yang makin mendukung itu semua di kampus merah-hitam (Teknik UNHAS); Teknik Geologi. Ia memang paling hoby bertualang naik gunung. Proses pembentukan fisik menjadi kuat menjadi salah satu prioritasnya. ia sering menggambarkan, bagaimana mungkin kita akan berjihad melawan kaum kuffar, sementara fisik kita lemah dan sakit-sakitan. Pernah, ia menyinggung sebagian ikhwah yang baru sekedar kena hujan atau udara malam sudah meringkuk kesakitan. Namun jangan salah, air mata akan menderas dari pelupuk matanya kala dia sudah berdiri di hadapan Rabb Al Alamin kala pertiga malam menjelang pagi.

Lepas dari kampus 2006 kemarin, ia langsung kembali ke tanah kelahirannya di bumi Borneo sana. Kontak terakhirku dengannya lewat e-mail yang mengabarkan dirinya sekarang sudah masuk menjelajah hutan-hutan liar yang alami yang ada di sana. Ingin tetap menyalurkan jiwa petualang, katanya. Ketika kutanya masalah pilihannya.

Malam tadi, sms-nya menderingkan HP-ku. Kala kantuk masih memberatkan pelupuk mataku yang masih lelah setelah melakukan perjalanan makassar-masamba-makassar. 'Ana ingin menangis, ingat perjuangan masa lalu dengan ikhwah...sedih rasanya berpisah. Ana rindu antum...' Aku tesentak. Kenangan bergerak bersamanya semasa di kampus kemarin berkelebatan di kepalaku. Ketika sama-sama digebuki polisi kala demonstrasi masa Gusdur, berhadapan dengan 'mahasiswa sangar' ketika berjuang bersama di Senat Mahasiswa Teknik, rapat-rapat di setiap malam menyusun agenda aksi perubahan, dan beragam yang lainnya.

'Perjuangan semasa di kampus, ane anggap sebagai -istirahat-. Ketika kita terjun ke masyarakat, di sanalah the real battle is begin. lagian, ketika masanya tiba, pasti kita semua akan pisah kan? Ane juga sedang merintis di sinjai nih, dah beberapa kalo turun medan. Yang jelasnya dakwah tetap jalan' kubalas sms-nya.

'JazakaLlah, tangis ini karena rindu berjibaku dalam dakwah dengan antum. Insya Allah dakwah tetap berjalan. Jadi khatib di pedalaman.Allahummaghfirlana...'

Sungguh, desir kekaguman langsung melanda berbarengan dengan peerasaan rindu yang menguasai hatiku. Aku juga nenangis. 'SubhanaLlah, medan antum sudah benar-benar menuntut makna pengorbanan dan kesabaran yang sejati. Bukan lagi sekedar retorika belaka. Insya Allah kita bertemu di rabithoh pengikat hati di setiap subuh dan petang. Ane juga merindukan antum' kembali kujawab sms-nya.

'Insya Allah akhi...semoga kita dipertemukan di sisi-Nya.'

Kelelahanku sirna. Membayangkan beratnya perjuangan yang dia lakukan di seberang sana. Kunyalakan laptopku dan langsung menuangkannya dalam tulisan ini. Masih kuingat kala ia membacakan LPJ ketika mengakhiri jabatannya di salah satu wajihah kampus suatu waktu, kala ia mengucapkan terima kasih padaku karena telah menjadi salah satu inspirasi bagi gerak langkahnya, dengan menyebut inisial yang juga sering kugunakan di setiap tulisanku, 'green AK-47'.

Masih kuingat juga, saat-saat akhir sebelum dirinya memutuskan kembali berdakwah di tanah kelahirannya. Tentang keinginannya untuk segera menyempurnakan separuh dien-nya yang masih tersisa, yang alhamduliLlah berhasil diwujudkannya belum lama ini. Juga, tentang tambahan 'gelar' yang disematkannya padaku setiap kali menegur dan berbicara padaku. Ia memanggilku 'komandan samurai'.

Akhi, gelar itu lebih pantas untukmu!

Labels:

Sunday, June 10, 2007

Sabarlah beberapa jenak lagi

Labels:

Friday, June 01, 2007

sebab karya tak semata ucapan dan cita-cita

Sahabat, apa kabarmu hari ini? Kabar iman dan ukhuwahmu, masihkah di ambang keterpurukan seperti kala itu? Ketika kau datang dengan muka gelisah dan tanpa perasaan tenang. Diam, namun kutahu pikiranmu menerjemahkan banyak hal yang selalu menjadi pertanyaanmu di setiap keadaan. Bahkan beberapa kali kudapati sosok dirimu merenung dalam kegelapan, di bangku samping rumah tempat kita dan beberapa saudara seiman yang lain bermalam bersama setelah lelah beraktivitas seharian.

Aku tahu, dan kami semua tahu. Paham dengan kegeraman yang kau rasakan melihat kondisi realitas ummat ini yang belum juga bangkit dari keterpurukannya. Mengerti dengan kemarahan yang terpendam di hatimu melihat kurangnya partisipasi kaum ini dalam kancah perputaran dunia dalam abad teknologi. Atau kelemahannya dalam penyusunan visi misi, ide, gagasan dan cita-cita untuk dituangkan dalam amal pekerjaan agar bisa bangkit sejajar bahkan menjadi pemimpin dalam siklus peradaban.

Keluhanmu sudah terlalu sering kami dengarkan. Saat pagi ketika kita semua sarapan ala kadarnya di teras belakang, yang selalu kita jadikan ruang diskusi berbagai hal. Atau sore saat menunggu adzan dari menara masjid, untuk berbuka puasa bersama dengan segelas nutrisari dingin dan roti coklat. Pun saat kantuk mengusap pelupuk mata, masih sempat kalimat keluhan itu mengantar pikiran ke ambang tidur.

Engkau benar, sahabat. Tidak ada yang salah dengan keresahan, kegeraman, bahkan kemarahanmu dengan semua kondisi itu. Sekali lagi, tidak ada yang salah. Kami pun sepakat dengan semuanya. Tapi, jangan pernah melupakan satu hal. Tidak ada yang dapat dirubah dengan cepat. Semuanya butuh proses. Di sinilah salah satu makna Rasul kita yang mulia SAW mengajarkan makna perjuangan dan kesabaran.

Apakah engkau tidak menganggap pertemuan rutin dalam lingkaran kecil tiap pekannya adalah bagian dari marhalah/tingkatan menuju ke sana? Apakah rapat dan meeting yang kadang tak kenal waktu di sela aktivitas harian kita, bukan jalan meraih semua cita-cita besar itu? Kerja-kerja sosial, ajakan kepada kebaikan sekecil apapun pada setiap orang yang kita temui, memperbaiki setiap tradisi jahil yang ada dalam lingkup keluarga kita, bahkan menulis, membaca dan mengisi materi yang kadang menurutmu terlalu sederhana, semuanya mengarah pada kebangkitan kembali kejayaan generasi mulia ini. Yakinlah, semuanya mengarah ke sana. Hanya saja, sekali lagi semuanya butuh proses, tahapan kerja, doa dan terakhir kesabaran.

Ah, maaf sahabat. Aku tak bermaksud mengguruimu. Kutahu otak akademismu jauh melampaui keinginan besar yang oleh sebagian manusia bahkan tidak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Namun, mengapa kau menyia-nyiakannya dengan menghindar dan kemudian memilih berangkulan dengan keluh kesahmu dalam kesepian kesendirianmu? Ayolah, kami merindukanmu. Dalam barisan tahajjud yang tetap bercahaya di akhir malam, dalam kehangatan doa rabithah pengikat hati ddalam subuh yang menyejukkan, dalam kesyahduan yang tercipta kala kita duduk melingkar di tiap magrib, menyenandungkan kalam Ilahi dari bibir kita masing-masing. Dan dalam kebersamaan kita tiap sabtu-ahad, lari keliling kampus merah UNHAS, push-up, back-up, dan beragam pembentukan fisik lain yang kemudian kita akhiri dengan main bola dan taujih di penghujungnya sebelum bubaran.

Sebab, kerja besar yang kita usung juga membutuhkan persiapan fisik dan jiwa yang besar juga. Dan itu hanya bisa dipenuhi dengan persiapan ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah yang akan kau temukan dalam semua aktivitas yang telah engkau tinggalkan sejak memilih hening dalam kesendirian keluhanmu.

Sahabat, karya yang engkau dan kita semua cita-citakan harus dibarengi dengan banyak hal. Dan kerja adalah salah satunya. Sekecil dan seringan apapun. Ini tak akan bisa berubah hanya dengan ucapan dan cita-cita besar semata tanpa gerak nyata yang menghidupkannya. Apalagi hanya dengan keluh kesah semata.

Kembalilah, jangan berjalan sendirian dalam kegelapan. Di dunia ini, terhampar ribuan cahaya.