Saturday, March 31, 2007

[.................................................................]



Aku rindu sawah. Pada aroma tanah basah selepas hujan. Pada hamparan hijaunya yang menyejukkan. Pada bulir padinya yang menggantung keemasan. Pada gerombolan pipit yang terbang. Pada dangau tempat melepas penat sambil menikmati belaian angin sore.

Aku rindu sawah. Pada pematang tempat berpijak kaki-kaki kecil waktu menaikkan layangan. Pada coklat lumpur yang membenamkan kaki sampai ke lutut saat menangkap ikan atau belut. Pada keriangan jungkir-balik di tumpukan jerami setelah panen.

Klasik…dinamis…sejuk..jauh dari polusi…jujur…

[kepenatan beberapa hari ini saat dikejar beragam deadline membuatku ingin istirahat di tengah hamparan kesejukannya]

Aku rindu sawah…

Labels:

Thursday, March 29, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang mimpi yang tak padam*


Kau mengajariku bergaul dengan anak-anak matahari. Menghirup aroma panas debu dan aspal jalanan, menerobos derasnya hujan, begadang menyusun agenda aksi dan perubahan, menjadi sarapan keseharian.

Kau mengajariku untuk mengangkat kepala di hadapan para tiran. Berkata jujur, meskipun di bawah ancaman laras senjata.

Hmmm…terlalu banyak pekan bersejarah yang telah coba kuukir dengan warna yang berbeda. Sejak bersamamu.

Hari ini, aku tersenyum. Saat kau mengundangku untuk menghadiri MILAD-mu. Maaf, aku tidak bisa. Ada amanah lain yang harus aku tunaikan. Bukankah kau pun telah mengajarkanku agar tidak mengkhianati amanah? Kau tertawa. ‘AlhamduliLlah, kau sudah belajar melihat dari banyak sisi. Tidak lagi terpenjara dengan persepsi sempit yang dangkal. Sekarang, kau pun telah paham kan? Mengapa aku memintamu untuk mencintaiku dengan sederhana?’ tanyamu.

Aku mengangguk. Dan di atas motor yang membawaku ke tempat kerja, aku masih sempat mendengar lantang suaramu. Tetap seperti yang dulu, menggetarkan tiran di singgasana kekuasaannya. Tetap menjadi mimpi buruk bagi cita-cita ideology kemunafikan mereka.

Selintas kenangan kembali terputar di benakku. Saat aku menyertaimu beberapa kali dalam aksi. Merasakan kerasnya pentungan, pukulan dan tendangan laras tentara yang harusnya memihak kepada rakyat. Atau saat batu ‘nyasar’ singgah di badanku ketika harus chaos dengan beberapa elemen lain. ‘Berwisata’ di Mabes POLDA seharian. Diinterogasi dan tanpa diberi sesuap makananpun.

Aku merindukan semua itu. Dan aku masih tetap akan memilih itu semua. Sebab, seperti katamu ‘Kebenaran-lah yang akan menang. Meskipun harus menanggung sekian kesulitan


REFORMASI, wait for me!!!

---oOo---

*kado MILAD untuk KAMMI, tempatku belajar dewasa


Wednesday, March 28, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang universitas kehidupan*

Fragmen 12

Belajarlah membaca dengan hati, bukan dengan pikiran’ kalimat pembuka yang kau ucapkan pagi itu, saat mengajakku ke pinggiran kota. Di deretan rumah-rumah kardus yang saling berdempetan tanpa bentuk. Kumuh, sumpek, hampir tak menyisakan sejengkalpun lorong udara untuk sekedar bernafas dengan lega. Selokan berair hitam yang penuh sampah, mengalir. Menahan nafas sambil berjalan, tetap saja aroma busuk yang menguar memenuhi rongga paru-paru. Aku mual.

Tidak terbiasa ya?’ tanyamu. Aku mengangguk. Tak kuasa membuka mulut. Sambil menengadah ke langit, kau berucap pelan ‘jalan lain masih terbuka untukmu’. ‘Tidak…tidak…aku harus bertahan’. Tekad ini harus menyatu dalam aliran darahku.


Senja mulai memerah di ujung barat. Dalam senyum, kau kembali bertanya ‘Masihkah hatimu membatu melihat sebagian realitas negerimu yang seperti ini?'


Fragmen 13

Udara konflik masih membumbung tinggi. Mengangkasa, seiring dengan asap hitam tebal yang meninggi. Meninggalkan bara jejak api dengan segala keangkuhannya. Anyir darah menggantikan kesegaran udara pagi. Tak ada tawa riang dan kegembiraan anak-anak yang berlari berkejaran di lapangan dan tepian sungai. Toleransi dan kasih sayang tercetak tak berdaya, dalam lembaran putih kertas buku dan pemanis bibir kala pertemuan.

Kau mengajakku ke sana. Di antara desingan peluru, lemparan tombak dan lesatan anak panah. Refleks, aku hanya bisa menggelengkan kepala. Dan kau melangkah dengan tersenyum. Dari kejauhan, masih kulihat sosokmu memapah mereka yang terluka. Dengan penuh kasih, membelai kepala anak-anak yang menangis ketakutan. Membalut luka dan membersihkan darah yang mengotori tubuh para korban yang tak mengerti mengapa harus mengalami hidup seperti itu.

Sekembalimu dari sana, kau berucap ‘Sejarah, hanya mengenang 2 karakter manusia. PEJUANG atau PECUNDANG


Fragmen 14

Masih ingat jalan lurus yang ujungnya tak kelihatan dari tempatmu berdiri waktu itu?’.

Ya’, jawabku.

Sambil mendesah, kau melanjutkan ‘Jalan itu sangat panjang. Ia tak bisa diukur dari usia yang kita punya. Bahkan, umur satu generasi belum bisa membuat perjalanan ke sana akan berakhir. Sekelilingnya dipenuhi onak duri, sesuatu yang tak sempat kau lihat sebelumnya. Kepayahan, peluh, air mata bahkan darah akan menjadi harga mati bagi yang melaluinya. Namun, kebahagiaan sejati ada di sana.

Apa yang harus aku lakukan jika aku tetap memilihnya?

Belajarlah bertahan. Dengarkan selalu suara nuranimu. Jangan menyerah. Sebab, perjuangan baru akan bernilai dengan tekad yang tak pernah padam.

---oOo---

‘Bukan POTENSI, namun PILIHAN yang membuat setiap orang berbeda’

*inspired from 'dia' yang besok akan MILAD. Saat semangat perlawananku kembali membara.

Labels:

Tuesday, March 27, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang cinta yang memilih*

Fragmen 9

Kegelapan dan persimpangan. 2 tikungan sejarah yang selalu menyesatkan banyak karakter manusia. Entah dengan suasana mencekam dan mistis yang diciptakannya, yang membuat kaki salah melangkah, ataukah kebimbangan dalam menentukan arah hidup yang menuntut keputusan cepat namun teliti dan benar. Dan jejak langkahku pun akhirnya membawaku bertemu dengannya. Persimpangan yang gelap. Sejenak, keraguan dan kepanikan mulai merasuki indera sadarku. Namun, kau muncul. Dengan putih cahaya yang menerangi sebuah jalan lurus, meskipun ujungnya tak terlihat dari tempatku berdiri.

Fragmen 10

Kegelapan itu tetap tak menyerah. Serentak, ribuan tangan hitam mengarah ke tubuhku. Masing-masing memegang sesuatu yang berbeda dalam genggamannya. Samar, kujumpai banyak bentuk dan jenis warna serta aroma yang memancar dari sana. Kembali, kepanikan menyergapku. Antara keinginan mengikuti, dan bertahan dalam ambang batas kesadaran yang hampir-hampir merubuhkan jasadku. Kau hanya tersenyum, mengulurkan tangan halusmu sambil mengangguk, mengajakku ikut melangkah dalam benderang cahaya putih yang menyelimutimu.

Fragmen 11

Beragam suara kasar memberenggut dalam kegelapan. Teriakan keras yang menguras energi sisa, membuatku limbung, dan akhirnya terjatuh. Kau tetap tersenyum. Namun ketegasan mulai terlukis di garis wajah dan bening matamu. Dengan ketenangan yang mengagumkan, kau menyeru ke arah kegelapan ‘biarkan ia memilih dengan hak kebebasannya. Bukankah ia lahir dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?’. Keheningan menjelma.


Sisa tenaga yang tersisa kugunakan untuk merangkak. Perlahan, menyeret tubuhku ke arah jalanan yang masih berkilau dengan putih cahaya yang meneranginya. Senyummu tetap tak berubah. Perlahan, kau mendekatiku. Mengangkat, memapah dan memeluk tubuhku untuk kemudian mensejajarkan langkah kakiku dengan iramamu. Tak ada yang tersisa, selain ketenangan yang menyelimutiku. Damai.

--oOo--


Lalu, bagaimana mungkin kau memintaku mencintaimu secara sederhana, dengan perhatian dan kasih sayang agung yang telah kau ajarkan kepadaku?

*inspired from 'dia' yang 2 hari lagi akan MILAD. Cinta ini belum berubah :)


Labels:

Monday, March 26, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang sesuatu yang tercabik*

Fragmen 8


Resah. Perasaan itu masih saja setia mengikutiku. Tetap sama seperti yang dulu. Seperti saat kusaksikan ribuan TKI harus jadi kuli di negeri sendiri. Saat ratusan anak harus menderita lumpuh layu dan gizi buruk. Saat para ibu harus mengemis demi sebotol susu untuk buah hati dan sepiring nasi untuk keluarganya. Saat anak usia sekolah harus mengalahkan deru mesin kendaran di tiap perempatan lampu merah, menadahkan tangan untuk sekeping rupiah.

Sedih. Kosa kata inipun masih susah beranjak dari pikiranku. Tetap sama seperti yang dulu. Saat beragam bencana datang silih berganti. Saat nurani kemanusiaan bertekuk lutut di bawah tirani kekuasaan dan materi. Saat logika dan moralitas, digadaikan dalam lembaran kertas uang dan prestise semu atas nama status sosial. Saat inteletualitas dihargai dengan deretan huruf dan angka dalam lembaran ijazah dan transkrip nilai.

Geram.sikap hati yang juga masih menari di ruang jiwaku. Tetap sama seperti yang dulu. Saat nyawa manusia tak lebih dihargai dari bangkai busuk binatang liar. Saat ego lebih banyak berbicara dibanding kemurnian nurani. Saat alur anarkisme menjelma budaya di ketenangan pelosok negeri ini.

Maka satu-satunya pilihan rasional adalah dengan BERGERAK! Sebab, DIAM berarti MATI. Bukankah PERUBAHAN hanya bisa terwujud dengan BERGERAK?

Namun, ada yang makin menambah beban ini. Setelah keresahan, kesedihan, dan kegeraman. Ternyata ditambah lagi dengan kebingungan. Bagaimana tidak, kebanyakan kita malah memilih untuk saling menyalahkan. Di mana prinsip kerja sama yang diajarkan orang tua kita dahulu saat kita masih kanak? Ke mana daya juang yang ditanamkan pendahulu kita saat kita mempelajari sejarah mereka? Ke mana nalar berpikir kita disembunyikan, sementara beragam tingkat pendidikan telah kita enyam?

Kawan, sudah cukup banyak air mata ibu pertiwi ini terkuras. Jangan lagi ditambah dengan perpecahan di antara kita, anak-anaknya. Bukankah perbaikan lebih berharga dibanding saling tuding? Tidakkah solusi lebih bermakna dibanding saling curiga? Berdialog, tetulah lebih dewasa dibanding memendam buruk sangka yang akan berpotensi melahirkan fitnah?

Kawan, MERAH-PUTIH itu masih melambai, meski hanya setengah tiang. Ya…meski hanya setengah tiang. Yang dia butuh adalah angin sejuk perubahan untuk mengembalikan kemegahan kibarannya. Yang ia butuhkan adalah tarikan dan dorongan agar kembali ke puncak tiangnya, dan mengangkasa ke seantero dunia. Mengabarkan eksistensinya dengan kumandang ‘INDONESIA BELUM MENYERAH’

Ya, INDONESIA BELUM MENYERAH, selama masih ada pemuda yang resah, sedih, dan geram dengan semua sejarah yang telah diukirnya. Pemuda itu adalah aku, kamu, dia, kita, dan mereka!

*inspired from 'dia' yang 3 hari lagi akan MILAD. I LOVE U SO MUCH :)

ps: aku yakin, ibu pertiwi akan kembali tersenyum jika melihat kita semua bergandengan tangan :)

Labels:

Sunday, March 25, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang srikandi kampus merah



Fragmen 5

Tingkahnya santun. Sejuk dalam balutan jilbab putih lebar dan jaket hijau yang selalu menemani kesehariannya. Tas ransel selalu setia nangkring di pundaknya. Hampir tak pernah kudengar keluhan keluar dari mulutnya yang tak pernah absen dari tilawah harian. Yang ada hanya semangat. Ketajaman analisa dan kepedulian sosialnya, membuat sosoknya tak pernah lepas dari segudang aktivitas. Baris senyum tak pernah hilang dari lekukan bibirnya. Dan yang membuatnya paling unik, adalah ideology yang dipilihnya. Meskipun dia tahu, kelelahan yang akan dia tanggung. Keringat, air mata bahkan darah yang akan mengalir. Namun jawabannya sederhana saja, tiap kali orang-orang menanyakan tentang semua itu, “adakah perjuangan yang tidak menuntut pengorbanan?”

Fragmen 6

Dia tertawa. Selama ini hanya senyumnya saja yang selalu kulihat. Tapi pagi itu, dia benar-benar tertawa. Saat mengetahui bahwa ternyata hari-hari aksi yang kulalui dengan beberapa teman sering dimulai dengan nasi gosong, sepotong tempe dan air putih. “Gimana mau kuat bertahan” katanya. “Selain persiapan maknawiyah dan wacana, jangan pernah melupakan fisik”. Maka rutinitas hariannya bertambah lagi. Membawa makanan ke sekret tempat kami merancang beragam agenda perubahan. Bahkan, malam hari pun selalu ada tambahan supply tenaga. Secangkir kopi hangat dan snack ringan.

Fragmen 7

Jilbab putihnya penuh darah! Ya, beberapa batu nyasar ‘singgah’ di kepalanya yang tiap akhir malam tak pernah alfa sujud di hadapan Sang Kekasih. Masih kuingat tekadnya di akhir rapat, saat mendengar keraguan beberapa rekannya akan aksi yang telah dirancang jauh hari sebelumnya. “perjuangan hanya dilakoni oleh mereka yang memiliki mental pemberani, bukan pengecut. Takut mengambil resiko, lebih baik mati saja!” tegasnya. Dan dia konsisten dengan keyakinannya. Saat tubuhnya dipapah, dia berkata “ini baru sedikit dari beragam resiko perjuangan”. Bahkan di sela-sela darah yang mengalir turun ke wajahnya, lagi-lagi hanya senyum yang mengembang di bibirnya.


“HIDUP, MASIH MENYISAKAN ORANG-ORANG TEGAR DALAM DIRINYA”

Labels:

Friday, March 23, 2007

[sepenggal fragmen hidup]

Fragmen 1 :

Puzzle itu belum utuh. Namun gambarnya sudah mulai terbentuk. Tuhan … aku letih. Bisakah aku berhenti sejenak untuk beristirahat?

Fragmen 2 :

Berbalik ke belakang, seuntai ghoflah/kesalahan dan kesombongan masih juga mengikuti. Apakah ini hukuman-Mu? Tuhan … sabarkan aku dalam sakitku. Jadikan ia sebagai penebus dan penggugur dosa-dosaku seperti yang pernah disabdakan oleh manusia Agung, RasuluLlah saw.

Fragmen 3 :

Malam masih sama. Tetap menyiramkan embun di awalnya. Dingin, sampai subuh menjelang. Kontras dengan kehangatan geliat semu dan fatamorgana kenikmatan manusia yang jauh dari tuntunan-Mu. sunnatuLlah kebaikan dan kejahatan, ternyata tak sesederhana itu.

Fragmen 4 :

Megah-kumuh, tinggi-rendah, bersih-kotor, lapang-sempit …

Ah … tiap perempatan selalu saja sama. Menawarkan segalanya sebagai pilihan. Yang manakah? Mata batin, masih saja terpasung.


“HIDUP, KADANG_KADANG MASIH MENYISAKAN MISTERI DALAM DIRINYA.”

Labels:

Sunday, March 18, 2007

Heart of The Sword


With a daybreak like this, I feel as if
I can cross the distant tomorrow alone.
If I keep fighting against my emotions, they'll break down
And they'll cross paths again tonight.

Everything is too extreme; even the marks left behind by all my efforts are
only reducing results, and as much as I try to walk that tight rope,
I only end up a loser every day.
It'd be easier for me to just take a cynical attitude.

Burning like Hell
Hiding myself
Living only a short time
With a daybreak like this, I feel as if
I can cross the distant tomorrow alone.

If I just leave it, my thoughts would race
and cross paths with my dreams again
The balance plate of my life isn't perfect.
Wonder if the plus and minus really add up to zero?

I'll make the most of my luck, 'till I die,
so at least let me determine how much I give and take on my own.
I don't understand,
although you can
change your logic at your will.

No matter how many times I stumble because of you,
I will always return to love.
The strength that comes from being hurt is unbelievable!
I won't sleep well again tonight.


No matter how many times it repeats itself,
I will always return, because it's love.
Still fighting against and blaming these feelings I can't extinguish
would be an even bigger mistake

With a daybreak like this, I will
cross the distant tomorrow alone.
We have something that goes deeper than affection,
so I don't mind if we disagree.

Tuesday, March 13, 2007

8 tahun 3 bulan [sebuah catatan perbaikan diri]

8 tahun 3 bulan…ya. Sekian lamanya putaran detik telah kulalui sejak terakhir kali kudengar suaranya. Suara yang selalu mengingatkanku akan ketegasan sebuah ideologi. Suara yang penuh dengan keyakinan akan makna perjuangan dan kemandirian. Yang tak mau menyerah pada keadaan, untuk suatu prinsip dan nilai hidup yang telah membentuk karakter jiwanya menjadi seseorang yang tegar.

8 tahun 3 bulan…ya. Sepanjang rentang waktu itu, tak lagi kulihat sosoknya melangkah dengan bantuan tongkat dan baju koko serta kopiah hitam yang jarang lepas dari kepalanya. Sosok yang panas dan hujan tak menyurutkan ayunan kakinya untuk bersegera ke masjid, berpacu dengan suara adzan yang keluar dari speaker tua menara masjid 150 meter dekat rumah.

8 tahun 3 bulan…ya. Selama itu tak kudapati lagi sorot tajam matanya, yang memancarkan kekhawatiran kala melihatku masih saja bergelung di tempat tidur sementara adzan subuh sudah mengalun. Tak kurasakan lagi sakitnya bilah bambu yang ‘mampir’ di kedua betisku saat dia mengetahui belum satupun ayat suci Al-Qur’an kulafadzkan tiap hari . Ataukah saat tak mendapati sosokku berada di barisan shalat berjamaah di masjid. Tak kudengar lagi nasehat tegas dari mulutnya, kala melihatku sedikit enggan membantu ibu ketika beliau meminta tolong.

Aku ingat. Aku ingat semua kemarahannya tiap kali mendapat laporan tentang kenakalanku., tentang kebiasaanku pulang larut ke rumah, atau tentang teman dan lingkungan pergaulanku.
Aku ingat. Malam ketika dia berbincang dengan ibu dan my old brother, dan berkata bahwa aku harus diapakan lagi agar pola sikapku bisa berubah. Bahkan dia hampir yakin, bahwa hanya di pesantren aku bisa menjadi lebih baik dan terarah. Namun mereka berdua meyakinkannya bahwa di manapun, setiap orang bisa berubah menjadi baik. Tidak mutlak harus di pesantren. Di perguruan tinggi negeri pun, ketika ada keinginan dan hidayah, setiap orang bisa menjadi lebih baik dari yang sekarang.

Aku ingat. Bahkan sangat ingat. Saat kemarahan puncaknya mencapai limit. Waktu itu pertama kalinya kutantang menatap matanya yang marah, dan membalas kata-kata nasehatnya dengan argumen dan logikaku. Dan kudapati bening air di sudut matanya. Dan aku juga ingat, saat dia meminta kepada my old brother untuk menjagaku jika waktunya kelak, aku berhasil diterima di perguruan tinggi dan sosokku jauh dari pengawasannya.

Ah…mengingatnya, selalu saja membuat mataku mengembun. Aku paham, semua kemarahan dan kekhawatirannya semata hanyalah tanda cinta kasihnya pada sosokku. Bukan kebencian seperti yang selama ini pernah kuambil sebagai sebuah kesimpulan. Karena satu nasehatnya yang sampai sekarang tak pernah hilang dari memoriku adalah saat ia mengatakan, ‘setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban dan saya adalah pemimpin di rumah tangga ini. Saya tidak ingin masuk neraka karena gagal memimpin seorang anak yang sejatinya adalah amanah dari-Nya.’

Bapak…sungguh, kurindukan lagi sosok tegarmu. Kurindukan lagi nasehat-nasehat tegasmu. Kurindukan lagi tajam matamu tiap kali mendidikku. Bahkan sungguh, kurindukan lagi pukulan bambu di betisku, sama seperti dulu saat aku malas menunaikan shalat jamaah, utamanya subuh di masjid. Sungguh, kurindukan semua itu.

Maafkan anakmu, yang baru mengerti sedikit tentang makna cinta dan kasih sayang. Maafkan anakmu yang pernah berburuk sangka dengan semua tindakanmu. Maafkan anakmu yang belum juga sempurna mengabdi di jalan ideologi yang kau ajarkan. Maafkan anakmu yang terlambat mengetahui makna hidup yang kau ajarkan. Maafkan anakmu yang sangat minim baktinya pada keikhlasanmu…Maafkan.

Allah, ampunkan beliau. Sejahterakan dengan nikmat-Mu. Yang tak pernah pudar di telan masa. Lapangkan alam kuburnya. Terangilah dengan cahaya-Mu. Hindarkan dari fitnah kubur. Terimalah semua amal ibadahnya. Masukkanlah ke dalam syurga-Mu.
Berikan kesempatan lagi padaku, untuk mendatangi kuburannya. Duduk bersimpuh di depannya. Memohon maafnya. Kabulkan ya…Rabb.

ps :
- to teman-teman kampus : thanks untuk bimbingannya. Nilai yang kalian semua ajarkan telah mempengaruhi banyak untuk diriku yang sekarang. Semoga bernilai pahala di sisi-Nya
- to deen, mellow lagi yak? ^_^

Labels:

sebingkai cintaku

Untuk mereka yang selalu mengingatkan aku saat lupa pada-Nya. Yang meraih tanganku dan mengingatkanku akan hakikat dunia yang sebenarnya, saat melihat kecintaanku padanya yang berlebihan, serta membuatku sibuk dengannya.

Untuk mereka yang selalu menegaskan padaku, tentang pentingnya ikatan timbal balik antara kita dengan dakwah. Yang tanpa adanya, kita tak mendapat apa-apa. Yang selalu mengingatkanku pada masjid, jamaah dan barisan pertama dalam sholat saat tak mendapati aku di antara mereka.

Untuk mereka yang mengingatkanku dengan Al-Qur'an serta wirid sebagai nafilah jika melihatku tidak membaca dan menghafalkanya.

Untuk mereka, hanya sebingkai cinta dan doa yang dapat kuberikan. Semoga jalinan ukhuwah yang mempersatukan kita, abadi sampai ke syurga. Amiin


ps : menjalani kehidupan di 'negeri orang' yang jauh dari keluarga, sahabat, dan saudara...gimana rasanya? Stay istiqomah, sister! [Allah, titip salam buat saudariku di sidney sana]

Labels:

tentang seseorang 2 [sisi lain]



you always bring me back, from hitokiri battousai rever back to the rurouni kenshin/kenshin himura. Thank u ^_^

Labels:

Saturday, March 10, 2007

[bayangan itu masih ada]



The sword is a weapon for killing...

...the art of the sword...

...is the art of killing,

No matter what fancy words

...you use...

...or what titles...

you put to it...

...that is the only truth.

(kenshin himura)

Labels:

Thursday, March 08, 2007

tentang seseorang [sisi lain]

‘apa sih yang kau cari?’ saat mengomentari kesenanganku duduk di bangku depan kamar kost tiap hari saat lewat tengah malam. Memandang bintang, mendengar nyanyian serangga, mengamati gerakan ranting dan dedaunan pohon.
‘aku suka seperti ini, sendiri dalam kesenyapan yang selalu mendatangkan ketenangan dalam diriku. Menghadirkan inspirasi untuk semua tulisan dan perenunganku’
‘kurang kerjaan…lagian kebiasaanmu itu bisa mendatangkan penyakit. Sayangilah fisikmu juga’

‘ramai banget, bising. Gimana kau bisa tahan dengan situasi seperti ini?’. Saat kujajari langkah kakimu menapak setiap sudut di Mall yang ada di Makassar. Kau hanya tersenyum lalu tergelak. Pernah kucoba bertahan, namun aku jatuh. Segera saja kupercepat langkahku ke satu-satunya tempat tenang di Mall, Toko Buku Gramedia. ‘aku menunggu di sana saja, sampai kau menyelesaikan semua keperluanmu’. Kau mengangguk, tersenyum.

‘dimana-mana, kalau orang ultah itu dirayakan. Minimal sama teman-teman dekatlah’ komentarmu waktu mendapatiku sendirian di kamar membaca buku di hari ulang tahunku.
‘ini sudah dirayakan, dengan membaca’
‘sesekali keluarlah, bersenang-senang. Rayakan sama teman-teman. Jangan mengurung diri sendirian’
‘sekarang tidak lagi kan? Ada kau di sini yang menemani’
Kau hanya menghela nafas. Kemudian mengeluarkan buku dan kue tart coklat dari dalam tas besarmu. Mengulurkannya ke tanganku sambil berkata ‘Happy Birthday’

‘semoga makin dewasa mengukir sejarah’ begitu bunyi sms yang kukirim di hari ultahmu. Dan segera saja HPku berdering, mendengarkan semua cerita tentang harapan, mimpi dan cita-citamu di masa datang.
Aku tahu, kau menginginkan boneka beruang itu. Dan kau tahu, aku bisa memberikannya untukmu. Namun tak kulakukan.
‘kenapa?' Tanyamu
‘aku hanya ingin memberikanmu boneka Red Devil (simbol klub sepakbola Manchester United) atau boneka Tux (Pinguin Linux). Namun meskipun sudah hunting, belum juga saya dapatkan benda itu. Ada yang saya dapat, kurang suka lagi sama bentuknya. Sudah pesan sama teman di Bandung, tapi sampai sekarang belum dibalas-balas juga’. ‘maaf, belum bisa memberimu hadiah’ lanjutku.
‘yang itu saja, saya suka yang itu’ kau tetap bertahan dengan boneka beruang.
‘aku memberikan hadiah pada orang lain, apa yang kusuka. Bukan yang disukai oleh orang itu’
‘Aneh...’kau bergumam sendirian.

‘aku suka senja hari. Memandang semburat cahaya jingga matahari yang sebentar lagi akan memasuki peraduannya. Menggantikan teriknya siang. Selalu menyenangkan’ katamu waktu aku duduk di dekatmu beberapa kali di tepi danau.
‘aku lebih suka pagi hari dengan kesegaran suasananya. ,menghadirkan semangat hidup yang membara seperti pijar matahari yang melesatkan larik sinarnya dalam cahaya yang terang. Senja hanya mengingatkanku pada kematian’ aku melanjutkan perkataanmu.
Selanjutnya, sepi melingkupi. Hanya kecipak dan riak air danau yang menyela. Sampai malam menurunkan tirainya dan aku mengantarmu pulang ke rumah.

Kau senang dengan drum dan gitar, aktraktif katamu. Aku cinta biola dan harpa, alat musik dewa kataku.
Kau suka laut dengan deru ombak dan sapuan anginnya. Aku lebih memilih gunung dengan kedamaian dan kesenyapan suasana hutannya.

..... ..... ..... ..... .....

‘Kau egois’ katamu akhirnya.
‘Kita memang berbeda’ jawabku

..... ..... ..... ..... .....

Ketika itu, kita pernah sedemikian angkuh. Seolah memiliki kuasa, ingin mendahului ketetapan Sang Khaliq. Sampai waktu menjawabnya. Bahwa kita tidak dan bukan apa-apa dan siapa-siapa. Semata makhluk lemah yang seharusnya tunduk pada aturan yang telah digariskan oleh-Nya.

Memaksa menggabungkan 2 karakter hidup yang saling bertolak belakang cukup dengan tekad bagaimana saling mengerti dan saling menghargai. Namun tidak diikat oleh ikatan suci yang dibahasakan Sang Maha Rahman dengan -mitsaqan ghaliza-.

Dan kita pisah.

..... ..... ..... ..... .....

‘kita memang tak bisa bersatu. Masing-masing kita terlalu egois. Kita hanya akan saling menyakiti jika tetap bersama.’ Kau memulai percakapan.

‘ visi kita memang beda. Dan aku sama sekali tidak bisa mencari titik temu antara ideologi yang kau pahami dengan yang kupahami. Lagian, sekarang saya menemukan lingkungan yang mengajarkan aku tentang makna segala sesuatu. Yang mengajariku bahwa yang kulakukan ini salah. Makanya, maaf jika aku pernah berucap cinta padamu. Rasulku tak pernah mengizinkan sampai waktunya halal untuk itu.’ Jawabku.

‘kita masih tetap berinteraksi kan, sebagai sesama saudara?’

‘siammo totti fratelli, tentu saja’

kak... jika dalam perjalanan hidupmu nanti, kau menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta, janganlah membangun special relationship lagi seperti yang pernah kita lakoni. Nikahilah ia jika memang engkau mencintainya’

‘kau tentu sudah tahu, ini pertama kalinya aku jalan dengan perempuan. Dan aku hanya bisa bilang, ini yang terakhir kalinya. Jika suatu hari kelak kau mendapatiku berjalan bersama perempuan, aku bisa meyakinkanmu bahwa itu adalah istriku’

..... ..... ..... ..... .....

Kemarin, sempat jalan-jalan ke blog-mu. Baca-baca arsip yang terekam di sana. Kudapati beberapa tulisan di sana tentang ‘dia’ yang telah mengisi hari-harimu.
Memori itu kembali muncul di ingatanku. Sore terakhir kebersamaan yang pernah kita jalin bersama. Ketika kita memutuskan untuk mengakhiri semua ini. Getir, kucoba tersenyum.

Apakah kau telah luruh, menginjak-injak kalimat yang telah kau katakan sendiri dengan ketegaran di waktu itu? Tak kuatkah kau bertahan dengan kesendirianmu? Dan berusaha membunuhnya dengan kembali menjalin hubungan seperti yang lalu-lalu? Mengapa tak kau minta dia untuk datang melamarmu, seperti yang pernah kau katakan kepadaku jika suatu hari kelak aku menemukan seseorang yang kucintai, tanpa harus membangun special relationship?

Ah... maaf. Seharusnya tak pantas aku mencampuri kisah hidup yang akan kau tulis. Bukankah pernah kukatakan padamu bahwa tiap kita berhak untuk menulis sejarah kita sendiri? Entah dengan menggunakan tinta merah, hitam, atau emas.

Kau telah memilih sejarahmu, akupun telah memilih sejarahku.

Rabb...kuatkan aku dengan pilihanku, seperti ketegaran yang kau anugerahkan di jiwaku saat menulis narasi untuknya tentang unique angel

Labels:

Wednesday, March 07, 2007

[seandainya...]

Aku tidak tahu, kekuatan apa yang dimilikinya. Namun selalu saja ia membuatku tersenyum. Setiap kali. Seperti 2 hari yang lalu.
Mungkin alur berpikirnya yang sederhana namun jujur. analogi logikanya yang datar namun mengena, membuatnya 'agak berbeda' dengan yang lain yang kebanyakan membutuhkan analisa tinggi untuk memahaminya. Mengingatkan diriku akan peran anak kecil yang polos, jujur dan apa adanya. Sikap hati yang sudah sedemikian sulit didapatkan di kehidupan yang makin penuh dengan topeng kepura-puraan.

Apakah aku jatuh cinta?
Entahlah...