Tuesday, December 02, 2008

Representasi 'kesepian' (bagian 2)

Siang ini, tiba-tiba saja aku ingin menangis. Bukan, bukan karena hujan di luar sana yang membuatku harus berteduh hingga akan telat sampai di tempat tujuan. Juga bukan karena lapar sepagian belum ada yang masuk ke dalam organ pencernaanku. Bukan. Tapi ada buncahan dari dalam yang memaksa mata ini kembali berembun. Tanpa bisa kucegah.


Pertama, entah mengapa pasca menulis 'bila hati rindu menikah [part 9] : Berani menjemput Bidadari' di blogku, bayangan 'kesucian' NabiyuLlah Yusuf a.s yang mampu membentengi diri dari godaan Imraatul Aziis, dan Abu Bakar Al-Misky, pemakai 'baju besi' dari kotoran manusia demi menghindari zina dengan wanita kaya dan cantik, semakin kuat dalam benakku.


Malu. Iya. Sebab diri ini tidak akan bisa menandingi memuliaan mereka. Masih saja harus berjibaku dengan tarikan nafsu dunia yang melenakan. Menang dan kalah silih berganti. Seperti waktu menemani rekan-rekan wartawan meliput diksusi antara buruh dan sekjen salah satu parpol di Qu*** Cafe sampai pukul 3 dinihari kala itu. Sampai sentakan kalimat seorang akhwat yang juga bagian dari tim ini menyadarkanku yang sempat menolehkan kepala ke arah 'kotak ajaib' yang menampilkan para model di atas catwalk.


Kedua, saat mereply email seorang rekan di milis Musholla Adz-Dzarrah Elektro FT-UH. Ingatan pada Palestina menyeruak. Selalu saja menyajikan cinta, empati, sedih, harapan, semangat, geram bahkan marah. Ah, sudah berapa lama aku tak menulis tentang negeri ini. Negeri suci setelah Makkah dan Madinah. bagaimana kabar saudara-saudaraku yang ada di sana... yang tetap tersenyum dengan kilat mata penuh kehidupan dan genggaman tekad pada batu-batu jalanan? Sungguh, aku mencintai kalian. Meski yang kulakukan baru sebatas menyebut dalam do'a dan sedikit coretan dalam catatan di blogku.


Seperti Faiz Abdurrahman, yang pernah bertanya pada bundanya, Helvy Tiana Rosa. 'Apakah cinta memang selalu menyediakan air mata?

Labels: