Sunday, October 21, 2007

Laki-laki dan air mata

Salah satu persangkaan yang banyak digunakan orang dan menjelma menjadi sebuah pandangan umum adalah tentang gambaran seorang laki-laki. Sosoknya dicitrakan sebagai makhluk yang perkasa, kuat, penuh ambisi untuk menaklukkan dunia. Hingga tak disisakan sedikitpun ruang untuk kehalusan rasa dan air mata. Bila benar demikian, bagaimana mungkin ia akan mampu mengemban amanah Allah swt yang dibebankan di kedua tangan dan pundaknya? Padahal, keperkasaan yang terkadang menjelma menjadi kegarangan, di suatu waktu atau peristiwa akan mengembun. Sebab, di kedalaman nuraninya tetap saja ada kelembutan yang bertahta.

Cengeng, banci dan gelaran lainnya akan segera tersemat di belakang mereka ketika diketahui bahwa mereka sering bahkan selalu menangis. Padahal, bukankah mereka juga manusia yang sama dengan perempuan? Sama-sama memiliki hati dan perasaan untuk mencerna semua masalah yang menghadang di depannya? Lalu kesalahannya dimana?

Jika tangisan atau air mata itu menderas untuk sebuah kekecewaan, kesia-siaan, patah semangat tanpa keinginan untuk bangkit lagi, atau bukan di jalan Allah swt, julukan seperti di atas mungkin (sekali lagi mungkin) bisa dialamatkan kepada laki-laki. Namun bagaimana kita memaknai derasan air mata yang lahir dari kegundahan hati laki-laki yang melihat kondisi ummat ini masih saja terpuruk di lembah terdalam kejahiliyahan? Merasa belum berbuat maksimal untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan sana? Atau mata yang kaca kala mengingat belum sempurna kecintaannya kepada Sang Khaliq dan RasulNya yang mulia?

Bagaimana pula dengan isakan mereka di penghujung malam, kala mengingat dan menghitung-hitung dosanya di hari lalu, sementara jaminan syurga tak ada sedikitpun dalam genggaman? Mengenang keterpurukan nilai-nilai suci ISLAM yang tenggelam oleh ummatnya sendiri lantaran masing-masing bertahan dengan ego dan pemahaman jamaah tempatnya belajar mengkaji semuanya sementara usaha yang dilakukannya untuk menyatukan mereka hampir tak mendapat tempat sama sekali?

Bagaimana pula dengan rintihan tertahan para laki-laki yang belum juga mampu menyadarkan anak perempuan atau istrinya agar berhijab dengan sempurna? Atau kala mengetahui bahwa anaknya menjalin hubungan dengan seseorang yang bukan mahromnya dalam sebuah ikatan yang bukan pernikahan?

Ah, mungkin kita semua harus belajar membaca makna. Mencerna segala sesuatu dari kandungan isi tanpa tertipu penampilan luar. Untuk apa dan siapa air mata itu harus mengalir. Seperti tangisan Muhammad saw Sang Teladan. Padahal sejarah mencatat beliau sebagai seorang panglima perang yang paling cerdas di segala medan. Yang paling tegar di hadapan semua cobaan dan fitnah. Yang paling tegas di hadapan kaum kuffar. Namun, tetap saja matanya mengalirkan air kala bersujud di hadapan Rabbnya, atau kala mengingat semua ummatnya yang belum juga sempurna mengabdi pada Rabb Semesta Alam.

nb : inspired from akhwat bandung yang belakangan jadi teman diskusi lewat e-mail. afwan, belum izin. Mudah-mudahan ga keberatan.

Labels:

Wednesday, October 10, 2007

Jelang fitri di akhir Ramadhan

Kesedihan yang wajar, saat sesuatu yang dicintai bergerak perlahan meninggalkan kita. Menjauh, dalam kebersamaan yang sangat singkat. Entah dengan kebersamaan seperti apa yang tertoreh dalam perjalanan selama bersama, jelasnya akan meninggalkan kenangan sendiri di suatu sudut jiwa. Apa yang disisakannya sebagai catatan sejarah, akan dibawa menghadap-Nya kelak sebagai bagian dari pertanggungjawaban desah nafas dalam rangkaian hari kehidupan.


Kerinduan yang akan menyeruak. Dalam banyak kenangan indah. Di keheningan malam dalam puncak tahajud, siang yang menyediakan beragam pilihan amal nyata kebaikan, bahkan dalam kesederhanaan berbuka dengan 2 kegembiraan tertinggi seperti yang telah dijanjikan Sang Maha Pengatur pergerakan seluruh alam raya.


Ramadhan memang telah di ambang gerbang akhir dalam perjalanannya membersamai kita. Sekejap, dalam hitungan jam pergerakan bulan di angkasa sana dia akan menuntaskan kunjungan rutinnya sekali dalam 12 purnama yang sempurna. Fitri menjelang, dalam syawal yang menjanjikan kemenangan atas perang melawan hawa nafsu.


TaqaBbalaLlahu miNna wa Minkum, Shiyaamana wa shiyaamukum. Semoga Allah SWT menerima semua ibadah puasa kita dan berkenan memasukkan kita dalam golongan orang yang bertakwa di hari kemenangan yang menggembirakan. Amiin Ya Rabbal 'Alamin

Labels:

Thursday, October 04, 2007

rapuh....lagi?

Masih dalam pelataran hari. Mengeja semesta dalam rangkaian hijaiyyah amalan yang menggoreskan jutaan mimpi tanpa batas. Detik terus tertoreh, mempergilirkan gelap dan terang di ambang cakrawala. Lukisan malam masih ditaburi jutaan bintang, senada siang dengan terang mentari dengan putih cahayanya. Suka duka tetap beriringan, sebagai dua sunnatuLlah alam yang menjadi keharusan. Sepi, kembali hadir. Masih tetap dengan status sebagai teman sejati.

Lelah, keresahan melingkupi jiwa. Dalam derasan air mata, kembali sujud panjang menjadi pilihan. Lemah, rapuh dalam langkah kehidupan yang semakin menguras energi fisik dan jiwa. Kesetiaan, yang pernah terpatri azzam kembali terkhianati dengan lintasan pikiran yang meragukan. Cinta dalam hati, masih saja terkotori nafsu dan tahta keinginan yang jauh dari rahmat-Mu.

Maaf, belum juga sempurna cinta ini untuk harapan semata kasih sayang-Mu. Meskipun, mahabbah yang telah coba kuperbaharui dan kuluruskan semata di atas jalan-Mu tetap kuusahakan menjadi raja di atas segalanya.

Jauh, perasaan lemah ini kembali hinggap. Kotor, dalam kubangan dosa yang kembali menarik keinginan ini untuk merangkulnya dalam kesenangan sesaat. Maaf, aku kembali mengetuk di pintu-Mu. Aku semakin takut, apakah rukuk dan sujudku membekas rahmat dalam keridhoan-Mu. Aku ingin kembali dalam kehangatan pelukan-Mu, di sela taubat yang terucap lirih. Ampunilah dosa dan kesalahanku. Meskipun, dalam cinta dan taubat yang juga belum sempurna.

Kerinduan ini, kembali membuncah untuk suatu damba akan cinta-Mu. Meskipun dalam kekerdilan jiwa yang paling rapuh, aku sadar tak ada setitikpun nilai diri ini yang Engkau butuhkan. Saat seluruh penduduk langit dan bumi bersekutu untuk tidak menganggap diriMu sebagai Rabb, tetap saja tak mengurangi setitik dzarrahpun kemuliaan DzatMu. Sama halnya ketika kebalikannya yang berlaku.

Keinginan tinggi seperti pinta Abu Nawas, bahwa diri ini tak layak ke syurga-Mu,namun tak juga sanggup dan kuat jika dilempar ke neraka-Mu. Rabbi, tetaplah buka jalan lurus itu kepadaku. Sekali lagi, meski dengan cinta yang belum juga sanggup bermetamorfosis sempurna.

nb : aku tak ingin berada dalam barisan akhir rombongan keledai yang bahkan mereka pun tak ingin terjatuh dua kali dalam lubang/kesalahan yang sama

Labels:

Tuesday, October 02, 2007

seperempat abad lebih setahun



Hey...
ke arah mana langkahmu sejauh ini?