Sunday, February 25, 2007

[ajari aku...]

Lama tidak ketemu, saya kira kau telah berubah. Ternyata tidak. Kau masih saja keras, to the point. Tidak suka bertele-tele. Tidak bisakah kau sedikit berbasa-basi, atau memilih ejaan kalimat yang lain? Tidakkah waktu merubahmu?

Penggalan kalimatnya malam itu tajam menusukku. Telak. Di ruang tamu yang ramai, bibirku masih tetap membentuk lekukan senyum yang sama. Tarikan sudut yang pernah dengan sangat perlahan disampaikan oleh seorang yang di suatu putaran sejarah pernah dekat bahkan sangat akrab, -susah untuk ditafsirkan-.

Aku punya alasan, mengapa aku melakukan ini semua.” Hanya itu yang sempat kukatakan.

--- --- --- --- ---

Sungguh, jujur kukatakan kepadamu wahai engkau para perempuan. Aku adalah manusia yang sangat kagum pada sosokmu. Pada kesempurnaan penciptaanmu. Pada kelembutan, kasih sayang, cinta, kehangatan, struktur emosional, keluwesan, perhatian besar, dan ketelitianmu sampai hal-hal kecil yang kadang dianggap sepele oleh kaum adam.

Aku tahu meskipun mungkin belum terlalu paham, kau tidak terlalu butuh dengan keakuratan fakta-fakta. Ketelitian sebuah bahasa yang logis dan mendetail yang bisa disampaikan dengan sangat mudah oleh laki-laki. Atau argumentasi hebat dalam sebuah forum diskusi.

Aku tahu meskipun [sekali lagi] mungkin belum terlalu paham. Perhatian, jaminan rasa aman, ungkapan lembut yang berarti, perlindungan, adalah hal yang bisa menentramkan hatimu.

… Aku pernah begitu perhatian di suatu putaran masa di waktu lalu. Mempraktekkan semua teori komunikasi yang kumengerti dari hasil bacaan dan interaksi langsung. Dan alhamduliLlah, lingkungan pergaulanku menjadi diameter tak berlimit. Akrab sampai ke lingkaran keluarga sekalipun Sampai saat itu mulai nyata. Ketika sebagian mereka tak lagi canggung untuk menyentuhku. Banyak yang mulai bertingkah makin aneh.Dan aku mulai resah, bahkan marah. Sungguh, ungkapan kalimat, surat, sms, atau telfon mungkin masih bisa kutolerir. Namun, memelukku dari belakang secara tiba-tiba atau di depan banyak orang, bagaimana semua ini harus kumengerti dengan alur idealisme yang kupegang?

Bukan…bukan sombong seperti kata kaummu ketika aku hanya merangkapkan kedua tangan di depan dada saat mengajak bersalaman atau berkenalan. Aku hanya tidak ingin menyentuh kehalusan kulit tanganmu yang aku tak memiliki hak di sana. Bukan…bukan egois ketika tidak membalas surat, sms atau tidak menanggapi percakapanmu di telfon. Aku hanya tidak ingin membuka pintu lagi agar setan bisa makin leluasa mempermainkan perasaan dalam hati kita. Bukan…bukan angkuh ketika aku menolak sentuhanmu di bahu atau lenganku. Aku hanya tak menemukan alasan yang membenarkan tindakan itu. Bukan…bukan tidak menghargai ketika aku tak menatap langsung ke bola matamu ketika berbicara, semata menghargai saja. Sebab kebeningan yang memantul di sana bukan milikku.

Namun, ketika aku memilih sikap seperti sekarang… apakah aku salah. Ajari aku kalau begitu. Tolong, ajari aku mengerti tentang perempuan. Ajari aku mengenal alur berpikir mereka. Tentang pilihan hidup yang historikal logika dan perasaannya. Ajari aku agar tak lagi membuatnya menangis. Ajari aku … … … Ajari aku… … …

--- --- --- --- ---

Engkau mungkin merasa aman dengan pilihan yang seperti itu. Tapi tidakkah kau berpikir, bahwa banyak yang sakit hati dan terluka dengan tindakanmu yang seperti itu? Minimal, sikapmu kepada istrimu kelak tidak seperti itu.

Spontan saja aku tertawa. “Jelaslah, kalo sama istri mah lain lagi persoalannya. Insya Allah masih banyak sisi lain, yang orang lain belum tahu tentangku. Biarlah kelak, cukup istriku saja yang mengetahuinya

--- --- --- --- ---

Robbi, sebegitu rumitkah memahami makhluk-Mu yang bernama perempuan?

Wednesday, February 21, 2007

Maaf...aku tidak bisa (jangan memendam duka)

Plis...mari belajar dewasa mulai sekarang ya...
Jangan pernah lagi menganggap bahwa segala sesuatu itu milik kita sendiri
Kedekatan, pertemanan, cinta dan kasih sayang...
Belajarlah berbagi
Hingga, ketika suatu saat kita kehilangan
Kita tidak akan tertikam duka sendiri...

kepedihan yang alami, wajar jika sesuatu atau seseorang yang kita cintai pergi
Namun jangan larut
Kerinduan, cinta, kasih sayang, semua adalah anugerah-Nya
Belajarlah menerima adanya, maka kitapun akan juga menerima tiadanya

-Jangan memendam duka-

Maaf...aku tidak bisa

Maaf, aku tidak bisa...
Karena Tuhanku telah mengajarkan hakikatnya yang sejati
Dan untaian prosa di catatanku masih membekas

"Dalam hati anak adam, tidak boleh ada 2 cinta
Allah akan sangat murka dan cemburu
Hanya jika ia menetapkannya untuk Allah
Maka Allah akan memberikan balasan
dengan yang lebih suci
Para malaikat akan senantiasa mendoakan
Darinya Allah memberikan keturunan
Yang menjadi penghibur di dunia
Cahaya di alam kubur
Dan kebahagiaan di akhirat kelak"

Hanya ada satu cinta, cinta kepada Sang Khaliq
Cinta yang indah, cinta yang abadi, bukan sekedar cinta semu...

Untuk saudaraku fiLlah...
luruskanlah cintamu

Saturday, February 17, 2007

Aku pernah ...

Pernahkah luka, kecewa, dan derita hinggap di keseharian kita? Aku pernah. Namun saat kita sadar bahwa itu semua akan menjadi masa lalu, berhentilah menjalaninya dengan sepedih rasa yang dapat meracuni jiwa. Sebab, ketegaran, kesabaran dan ketabahan akan menjadi lebih utama dan lebih indah untuk dikenang nantinya.

Pernahkah kebencian dan kemarahan menjadi pelampiasan akan ketidaksenangan kita terhadap sesuatu atau seseorang? Aku pernah. Namun saat iman berbicara, berhentilah mengumbarnya sepenuh jiwa. Sebab, pahala yang berlipat menjadi ganjaran saat menahan diri menjadi pilihan.

Pernahkah dosa dan kesalahan menjadi aktivitas rutin yang selalu menyertai pilihan langkah kita? Aku pernah, bahkan sangat sering. Namun saat hidayah menerangi, janganlah tetap tenggelam padanya. Sebab, taubat dan kembali mengetuk pintu ampunan-Nya adalah lebih utama.

Pernahkah harta menjadi obsesi terbesar kita dalam kehidupan? Sehingga menghabiskan energi jasad dan jiwa untuk mengejar materinya? Aku pernah. Namun saat kezuhudan sejati telah dipahami, berhentilah kikir dan menahannya dari tangan yang berhak. Sebab, kedermawanan akan melipatgandakannya.

Pernahkah cinta membawa perasaan kita menjadi semakin indah? Bercengkrama dengan malam yang selalu mendatangkan sejuta inspirasi dengan kesempurnaan fantasi? Aku pernah. Namun saat hati tercerahkan, berhentilah egois. Selalu ingin memiliki dan bersama selamanya. Sebab, memberi akan lebih banyak menuai makna.

Pernahkah kecerdasan dan kepandaian menorehkan kebanggaan semu di kepala kita? Aku pernah. Namun saat tanggung jawab bertahta, berhentilah membusungkan dada dan berbuat kerusakan di bumi. Sebab, Sang Pencipta memerintahkan kita menggunakannya untuk memimpin dunia dengan adil.

Pernahkah bahagia menyemarakkan hari-hari kita? Aku pernah. Namun saat kepekaan mulai mengelus jiwa, janganlah lagi merasa cukup untuk merasakannya sendiri. Sebab, berbagi dengan yang lain akan membuatnya makin berarti.

Luka, kecewa, derita, kebencian, kemarahan, dosa, kesalahan, harta, cinta, kecerdasan, kepandaian, kebahagiaan, bahkan HIDUP, semuanya akan menjadi masa lalu pada akhirnya.

Saat hari itu tiba, saat semua telah menjadi masa lalu, aku ingin ada di antara mereka yang bertelekan di atas dipan-dipan dan permadani. Menikmati semilir angin yang menebarkan keharuman kesturi. Berjalan-jalan di istana yang megah ditemani para bidadari yang bermata jeli. Belum pernah disentuh oleh makhluk dari golongan jin dan manusia Bercengkrama dengan sesama saudara seiman, bercerita tentang semua hal di masa lalu sampai mereka mendapat anugerah indah itu.

Aku tak ingin berada di antara mereka yang berpeluh darah dan berkeluh kesah, yang berkata seperti diabadikan dalam Al-Qur’an Mulia dalam surah An-Naba’ ayat 40 : ‘Alangkah baiknya seandainya dahulu aku hanya menjadi tanah saja!’

Allahumma Amiin, kabulkan yaa Robb...

Friday, February 16, 2007

[... ... ...]

VALENTINE DAY?

Bahkan tidak perlu alasan syar’I untuk menolak perayaan yang sama sekali tidak memiliki pijakan kuat dan tatanan nilai yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan di hadapan logika kemanusiaan.

[untuk ade' kecilku yang masih 'bertarung' memilih jalan di persimpangan ideologi]

Sunday, February 11, 2007

Cinta Sang Junjungan

Manusia Agung penyebar risalah itu telah tiada. Setelah menebar kehangatan cahaya Islam dengan penuh cinta dan kasih sayang untuk menyelamatkan ummat manusia, Sang junjungan berpulang menghadap Rabbul ‘Izzati, dengan tenang di pangkuan istri tercinta, Ibunda Aisyah r.a.

Dunia menangis. Jangankan para sahabat dan keluarga yang menyertai hari-hari perjuangannya, bahkan dalam riwayat, tongkat dan mimbar yang biasa beliau gunakan saat khutbah jum’at ikut berguncang menandakan kedukaan yang sangat dalam.

Jasadnya memang tidak lagi bersama ummatnya. Namun kecintaan Sang Nabi tak pernah henti. Ingatlah kembali, ucapan lirih dari bibirnya saat Malaikat Maut mencabut ruh dari jasad beliau secara amat sangat perlahan, agar tidak menyakitinya... ... Ummati... ... Ummati... ... Ummati... ...

SubhanaLlah. Suatu ekspresi kecintaan yang tak terbatas. Bahkan saat maut menjemput, yang membebani pikiran Rasul SAW adalah kita semua, ummatnya. Walaupun terkadang yang dicintai tak cukup pandai untuk membalas cintanya. Juga tak pernah sadar kalau hari-hari Rasul SAW senantiasa diisi dengan tangis harapan dan doa untuk keselamatan semua ummatnya.

Kecintaannya dibawa mati. Tak terbatas. Yang akan selalu hadir di setiap masa. Kelak, di padang mahsyar sana, saat tiap pribadi manusia disibukkan dengan urusan masing-masing. Saat malaikat menggiring semua jiwa ke pengadilan Sang Maha Adil. Saat kita dikumpulkan dalam keadaan telanjang dan tanpa alas kaki. Saat matahari yang membakar hanya berjarak sehasta dari atas kepala. Rasa haus mencekik kerongkongan.

Saat itu, cintanya kembali hadir. Dalam telaga sejuk yang menyegarkan. Telaga yang diberikan Allah SWT untuk beliau. Telaga indah yang luas. Hadir dengan nama yang indah pula, Al-Kautsar : Nikmat yang banyak.

Dengarlah sendiri kebenaran sabdanya ‘Telaga itu terdiri dari 4 sudut, memancarkan kilatan cahaya bagai kilatan cahaya bintang. Jarak satu sudut dengan sudut yang lainnya, ditempuh dengan satu bulan perjalanan’. ‘Telaga yang berisi air putih bersih, lebih putih dari susu. Lebih manis dari madu, aromanya lebih harum dari kesturi’ (H.R. Bukhari). ‘Salah satu sudut telaga terdapat satu sumber yang mengalir dari surga, juga sepasang pancuran dari surga. Satu dari emas, satu dari perak (H.R. Muslim)’. ‘Orang yang berhasil meminumnya seteguk saja, tak akan merasakan kehausan lagi selamanya’ (H.R. Tirmidzi)

Telaga itu adalah telaga Rasul SAW, namun beliau dengan penuh kecintaan berbagi dengan ummatnya. Namun mereka yang diberikan izin untuk meminumnya hanyalah ummat beliau yang sempurna keislamannya. Yang tidak berbalik ke belakang (murtad) setelah cahaya kebenaran terhampar terang di hadapannya. Dan mereka yang sepeninggal Rasul SAW tidak mengada-adakan sesuatu yang Rasul SAW tidak lakukan.

Di sana nanti, hanya sedikit dari ummat beliau yang akan meminum air dari telaganya. Kebanyakan manusia, jangankan meminum, mendekatinya saja sudah dilarang.

Saudaraku, di manakah posisi kita nantinya?

Ya Robb, jadikan kami berada dalam barisan manusia yang diizinkan untuk meneguk air dari Al-Kautsar, di hari dimana kehausan tak tertahankan selain yang Engkau ridhoi untuk Engkau beri minum.

Monday, February 05, 2007

saatnya jujur pada nurani...

Yang tidak pernah dirasakan oleh rakyat negeri ini adalah seorang pemimpin yang kecerdasannya tersimpan dalam kejujuran hatinya. Yang keberaniannya tersimpan dalam cinta dan kasih sayangnya. Yang kehebatannya tersimpan dalam kerendahan hatinya. Yang hak-hak prerogatifnya sebagai pemimpin, tersimpan dalam rasa takutnya pada Allah SWT. Yang kenegarawannya tersimpan di balik kedalaman ilmunya. Yang kekuatan pengaruhnya tersimpan dalam kelembutannya.
Rakyat negeri ini memang harus menyelami kedalaman lautnya untuk menemukan mutiara-mutiara yang bersinar indah. LUPAKAN ORANG-ORANG 'POPULER' ITU, karena mutiara tidak akan menampakkan dirinya di permukaan laut.
[catatan kecil jelang PILGUB di Sul-Sel]