Monday, December 25, 2006

Mencari Jejak Syuhada

Barangkali esok atau lusa
Tak kau temui lagi anakmu
aku berangkat membawa pesan dan doamu
untuk negeriku

Sampirkan pedang Khalid Ibnul Walid
di pinggangku
Mungkin dapat kugelorakan
Semangat Yarmuk

Atau kau titipkan panah Usamah Bin Said
untuk kulesatkan
dan rangkaian doa-doa di keheningan
sampai terkirim darah untukmu...

Muhammad Ilham [syahid_lover@yahoo.com]
nb : puisi singkat to my mother

Teguran [catatan kecil yang menyadarkan]

Sabtu, 23 desember 2006
- Alfa dzikir pas naik motor, akhirnya jatuh. AlhamduliLlah ga ada luka serius. "cuma" kaki keseleo sampai sekarang.

Ahad, 24 desember 2006
- Tilawah kurang 1 juz, di shout box blog -ku dikunjungi seseorang yang ngaku bernama -Erla-. Pesannya biasa saja, memuji template blog-ku. Waktu saya kunjungi balik, AstaghfiruLlah, ternyata blogger mesum! Langsung saja login ke oggix, delete name, URL dan message-nya.

Ilahi, ampuni kekhilafan hamba. Jangan lepaskan kami dari dekapan Kasih Sayang-Mu.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa" [Q.S. Ali Imran : 133]

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." [Q.S. Ali Imran : 35]

Saturday, December 23, 2006

Mata dengan Ideologi Semesta

Lesatkan kebisuanmu. Biarkan angin membisikkan realitas ini. Tentang Palestina, Kosovo, Chechnya, Moro, Patani, dan bentangan negeri Muslim lainnya yang namanya kerap tak terjamah oleh kosa kata hati kita. Tentang tenda-tenda kumuh, yang robek di segala sisi. Berjejer di tepi padang gersang. Tentang jeritan bocah kecil dalam tangisan bisu untuk kematian orang tua dan sanak keluarganya. Tentang bangunan-bangunan yang dirobohkan. Semua berbicara 1 kenyataan : Angkara murka yang berotasi dengan keangkuhannya!

Panas sahara menjadi saksi. Tentang hijau kedamaian yang terkoyak. Aroma mesiu dan ledakan granat memeluk kematian dalam sapuan kanvas melukis malam penuh dendam. Nurani terpenjara. Hati membatu. Bertarung untuk memperjuangkan nilai sebuah kebohongan sejarah yang lebih pantas menjadi sampah di pojokan gelap. Terbius perilaku iblis yang menjelma ke dalam sosok jiwa bertubuh manusia.

Jejeran panjang lelaki renta, anak-anak dan wanita bergerak sampai tapal batas negara sebelah. Tidak pernah ada alasan yang rasional. Semata berikrar -Isyhadu bianna muslimin-, kekejaman itu menghampiri. Terpampang jelas diperagakan bangsa kera yang tak pernah tahu menghargai kasih sayang Rabbul Izzati. Meneruskan parade panjang kebiadabannya sejak dahulu ketika mulai membunuh para manusia mulia utusan Sang Qadhi. Izzah menjadi pertaruhan. Untuk sebuah eksistensi yang terkoyak.

Maka lihatlah di sana! Di sudut-sudut kemah yang tersisa, berdiri menantang badai. Bocah kecil dengan tatapan tajam bening berbagi sepotong roti keras yang sudah basi dengan adiknya. Lusuh baju yang membungkus tubuh tirusnya tak kuasa menahan dinginnya udara gurun malam hari. Duduk melingkar, mencoba untuk menghadirkan kehangatan keluarga yang kini tersisa cerita indah di sudut hati. Kepada siapa keceriaan itu mesti dibagi? Sementara, merengkuhnya saja sudah separuh nafas. Itupun masih harus mempertaruhkan hidup di ujung senjata.

Pasir cadas tegak mengamati. Puing reruntuhan bangunan menggeliat resah. Batu berbicara. Serentak, bersatu mendekap tubuh kecil yang paham makna hakikat perjuangan hidup. Dalam tatapan mata bocah kecil itu, berpijar nyawa kehidupan. IDEOLOGI SEMESTA!

nb: sampai detik ini, pijar apakah yang membara di mata kita?

Friday, December 22, 2006

ibu, rahim kasih sayang

ibu --> sumber mata air kesejukan yang tak pernah kering
ibu --> kehangatan mentari yang selalu menghidupkan pijar semangat
ibu --> akar cinta dan kasih sayang tak terbatas
ibu --> sosok suci yang lembut dalam ketegasan
ibu --> inspirasi yang tak pernah padam
ibu --> bening mata yang menentramkan
ibu --> malaikat sempurna dalam jaga dan tidur
ibu --> untaian doa, harapan, dan cita-cita yang tak pernah putus
ibu --> bara pengorbanan tanpa pamrih
ibu --> cahaya permata kehidupan
ibu --> mujahidah agung pendidik generasi

Betapapun kulukiskan segala makna yang melekat dalam gelarmu, takkan cukup semua kata terangkai menjadi prosa sejarah. Cinta dan keikhlasan pengorbananmu takkan terbalas meski kupertaruhkan seribu nyawa kehidupanku. Dalam keluh kesahmu, ada rahmat yang mengalir. Dalam harap cemasmu, ada rahim kasih sayang yang mengalun.

Sajadahmu tak pernah kering dengan air mata permohonan, agar putramu tidak ingkar kepada Tuhannya. Cahaya wajahmu terus bersinar, berbasuh gemercik air di sepertiga akhir malam. Melantunkan kalam Ilahi dengan kerinduan di keheningan semesta. Munajat di akhir sholat, menerbangkan puncak harapmu menembus bintang-bintang. Mengetuk pintu langit tempat Arsy Yang Maha Rahman bertahta.

Kedudukan muliamu tak tergantikan. Cukuplah bahwa manusia terbaik yang pernah hadir dalam pentas kehidupan, RasuluLlah Muhammad SAW, juga lahir dari rahim manusia yang bermahkota IBU. Surga diletakkan di bawah telapak kakimu. Dan Sabda Agungnya tentang kebenaran, menyebut gelarmu 3 kali lebih banyak dibandingkan ayah.

Maafkan, aku anakmu belum juga sempurna mengabdi pada keluasan kasih sayangmu.

nb : 8 tahun sudah aku tak menyertaimu melewati Mother's Day

Thursday, December 21, 2006

tentang cinta

Cinta, satu kata yang membuat kehidupan ini tetap berjalan. Yang hadir bersama senyuman matahari yang bercahaya di permulaan hari. Merenda senja dalam temaram jingga, mengantar makhluk alam kembali ke rumah istananya. Dengannya, bintang-bintang berkerlip memukau di langit malam. Bersanding sempurna dengan rembulan, anugerah alam yang tak pernah lekang menjadi titik inspirasi para pujanga.

Cinta itu indah. Seindah dunia yang menawarkan berjuta cita dan impian. Ibarat angin, yang mampu menyegarkan jiwa rapuh dari pokok oase kekeringan. Meliuk, memeluk lembut semesta raya dengan tiupan keharmonisannya. Bergabung bersama air menciptakan tetesan hujan, menghidupkan bumi setelah matinya. Seperti matahari, yang setia menerangi alam dengan kecerahan sinarnya. Bahkan dalam gelappun, ia masih memantulkan murni sinarnya lewat jejak sang rembulan.

Cinta memang penuh dengan warna. Pelangi kehidupan yang menuntun gerak langkah menuju puncak pilihan kebahagiaan jiwa. Melukis sempurna langit biru dengan Maha Karya Agung yang memantulkan sejuta ketundukan akan hakikat kesejatian Sang Pencipta. Meskipun, sebagian manusia yang terjebak pada pikiran sempit nafsu kesalahan, hanya mengenal warna merah jambunya saja. Kemudian menarik determinan kesimpulan lucu yang kekanak-kanakan. Tanpa tanggung jawab yang meruntuhkan nilai kemuliaannya.

Cinta menggerakkan nurani ibu untuk memberikan sepenuh kasih sayang kepada anak-anaknya. Yang menitikkan air mata dan darah bagi kebahagiaan keluarganya dalam doa di penghujung sholat. Melelahkan tubuh ayah dalam kerja yang tak putus.

Cinta yang membuat burung mengepakkan sayapnya mengelana bumi. Menginspirasi laut untuk melayarkan bahtera di permukaan riak-riaknya. Menumbuhkan pohon dari biji kecil yang tak memiliki daya di awal pertumbuhannya.

Cinta adalah nafas bagi kehidupan, sampai kapan pun tak akan berakhir. Selama nurani masih berpijar dalam jalinan detak jantung. Selama mata masih mengerjap, selama itu juga, cinta akan selalu hadir. Tersenyum bersama insan-insan yang merindukan cinta sejati. Sampai ke taman syurga para pecinta Nur/Cahaya Ilahi, yang merindukan bertemu dengan Wajah Sang Kekasih, di istana yang mengalir sungai-sungai bening di bawahnya.

Kehidupan adalah cinta. Yang membuat kita tertawa dan menangis. Cinta pulalah yang membuat kita menyenandungkan lagu jiwa, mengobati lara hati yang terluka. Cinta juga, yang menggerakkan jemari tanganku menekan tuts-tuts keyboard komputer ini untuk kemudian merangkainya menjadi tulisan. Meskipun semua hal tentang cinta belum sempurna terangkum di sini, sebab cinta memang tak terbatas.

Wednesday, December 20, 2006

Lagi, tentang keajaiban pagi hari.

Dunia terus berputar. Bergerak, mempergilirkan masa dalam putaran jam. Menyapa hari lewat sinar mentari yang menghidupkan, menghias angkasa dengan taburan bintang melukis malam. Keindahan menyemai. Memikat hati makhluk bertitel manusia untuk menghampirinya. Tersenyum, menerima ajakannya untuk ikut berputar, larut dengan semua keindahan yang ditawarkannya.

Ia begitu hijau. Menyejukkan mata bagi yang memandangnya. Membius akal, menyeretnya untuk bergabung menikmati kuasa kecantikannya. Sebab, ia adalah perhiasan. Yang hasrat tak mampu memiliki daya lebih untuk menolak kharismanya. Maka berlombalah kita mendapatkannya, dekat, untuk lebih akrab dengan semua tawaran kenikmatan yang disajikannya.

Hasrat keinginan mulai menggelora, menyambung nafsu yang memang tidak pernah merasa puas dengan semua yang ada. Menikam nurani dengan belati maksiat. Maka yang hadir adalah wajah hampa tanpa titik kehidupan dalam cahaya mata. Berjalan kaku laksana robot, mengejar materi dari detik ke menit. Merangkum khayalan dalam hitungan jam yang terakumulasi menjadi hari. Ya...kita mulai bergerak mekanis. Memecah waktu dalam lingkaran setan. Mengumpulkan nilai kekuatan tertinggi material yang pernah dihasilkan manusia dalam sejarah hidupnya. Uang. Menghipnotis sempurna pikiran yang semakin kosong dari nilai sejati kehidupan.

Berulanglah perilaku itu dalam keseharian. Monoton dalam gerak yang mulai kehilangan elastisitasnya. Menapaki impian dengan kepayahan yang menggelisahkan. Sampai, kejenuhan mulai menyentuh laju momentumnya. Dimana kenikmatannya? Semakin berkumpul nilai materinya, mengapa justru kekosongan yang menghampar? Impian kebahagiaan makin menjauh, terbang ke langit idealisme yang utopis. Lalu untuk apa semua ini?

Jiwa kembali resah. Logika tergelitik untuk menganalisa. Oh, ada yang terlupa selama ini. Yang membuat langkah cita-cita mengabur, menyeret diri menjadi mayat hidup yang tak bernilai selain apa yang masuk dan keluar dari bejana perut. Sekedar makan minum seperti hewan tanpa nilai keagungan yang dapat menjadi kebanggaan di hadapan-Nya kelak.

Cahaya nurani, masihkah ia bersinar setelah sebelumnya tertikam belati maksiat di penghujung hari? AlhamduliLlah, ia masih disana. Sendirian di sudut hati yang mulai kelam karena titik debu menyelimuti permukaannya. Bertahan dalam kesepiannya, masih setia dengan cahaya murni yang merupakan karunia fitrah dari-Nya.

Maka, ketika dunia makin menyibukkan, saat pikiran demikian melelahkan, sekali lagi saatnya berhenti sejenak. Tenang dalam diam. Di sini, di pagi hari. Nyalakan kembali pantulan cahaya nurani yang mulai meredup terkikis egoisme dan kesibukan semu yang menipu. Tajamkan rasa, lembutkan hati. Dengan dzikir rutin setiap pagi.

Inspired from : chat with mbak nuni INCO

Saturday, December 16, 2006

Kulminasi Kesempurnaan Hidup

Secara unik, hidup adalah peristiwa tarbiyah/pembelajaran. Pada setiap langkah dan keputusannya. Hidup adalah proses belajar tumbuh dan berkembang, dalam setiap celah dan ruangnya. Bergerak, menyatukan semua anasir bentukannya mencapai titik kulminasi kesempurnaan dalam setiap jenak nafas tersisa.

Mata yang masih mengerjap, membasahi selaput tipis pembatas retina dengan dunia luar. Masih mampu memandang semua peristiwa hidup yang terus berputar menampilkan slide aktivitas yang saling berangkaian membentuk jalilan fragmen lengkap kehidupan. Telinga yang beresonansi membentuk alunan nada murni yang dihasilkan oleh nyanyian alam, membentuk musik jiwa dalam tubuh. Demikian indera yang lain.

Namun, itu sebatas hidup biologis. Yang masih beriringan dengan peredaran darah di setiap pembuluh yang dipompa oleh jantung yang masih menyisakan detakan per hitungan waktu. Serta supply oksigen untuk proses pembakaran dan pernafasan yang dilakoni oleh paru-paru. Ini semata masih mensejajarkan kita (al-insan) dengan hewan dan tumbuhan.

Jika demikian, yang manakah kehidupan sejati di bumi fana ini?

Sosok agung, dengan wajah teduh bercahaya menyebarkan senyum ukhuwah ke seluruh manusia. Tidak cukup sampai di sana. Semua makhluk lain turut merasakan berkah keagungan kehadirannya di planet ini. Dengan kelembutannya, hati yang telah mati membatu menjelma sebening kristal. Perangai buruk yang menjadi warisan salah turun-temurun dan mengakar kuat dalam budaya, menguap. Tergantikan dengan pribadi halus, yang mata mereka tidak pernah alfa mengalirkan bening air, dari hati yang rindu kedamaian akan pertemuan dengan Sang Kekasih.

Atau pribadi kecil kurus, yang dengan senyum penuh keikhlasan melangkahkan kaki dengan tegar menuju tiang gantungan. Sikap jiwa yang membuat 2 sipir penjara dan algojo pengeksekusi hukuman matinya menjadi gundah, gelisah. Hati mereka terusik akan ketenangan dan pancaran jiwa yang mengalir di wajah dan semua tindakannya. Yang menyapa dengan senyuman, dan menyalami mereka, seolah pamit pada keluarga sendiri. Ungkapan jujur akhirnya lahir dari mulut mereka ‘Aku tidak sanggup mengeksekusi anda’. Namun, pribadi kecil kurus itu hanya berkata ‘Laksanakan tugasmu, Allah tahu apa yang ada dalam hatimu’.

Maka hasilnya mulai berbuah sekarang. 1 Milyar lebih, penduduk bumi bernaung dalam indahnya payung keadilan risalah yang dibawa sosok agung dengan wajah bercahaya tersebut. Sipir penjara dan eksekutor hukuman gantung mengikrarkan 2 kalimat pembebas, kalimat syahadat. Azamul Fatih, jiwa/semangat muda menjadi bara di pijar dada pemuda muslim, untuk tetap berjihad, menggentarkan tirani penyembah setan di singgasana kekuasaannya. Hasil didikan ideologi pribadi kecil kurus yang syahid di tiang gantungan dengan bibir tersenyum dan wajah menghadap kiblat.

Inilah hidup sejati. Jasad mereka telah menyatu bersama tanah. Namun nilai perjuangan yang diwarisakannya masih bertahan, senantiasa digaungkan menjadi nyanyian kebenaran. Bertahan, dan menang. Nama mereka masih abadi di bibir manusia, tercatat indah dalam ukiran diary sejarah. Mereka hidup, karena mereka berjuang untuk sebuah kebenaran. Istiqomah/konsisten dalam cita-citanya, meskipun harus berhadapan dengan kebuasan sistem nilai pengusung ideologi dunia, yang ingin menenggelamkan dan memadamkan cahaya abadi ini ke lembah gelap kenistaan. Raga mereka tidak lagi bersama kita, namun ideologi mereka terus membara di nurani manusia yang tetap terjaga fitrah kelahirannya. Maka mereka tetap hidup, abadi. Mengharumi taman sejarah dengan jejak langkah perjuangannya.

Demikian, yang telah dilakoni oleh sang sosok agung, RasuluLlah Muhammad SAW. Atau sosok kecil kurus Sayyid Quthb, yang mengajarkan kepada kita, hakikat murni nilai hidup dalam perjalanan kehidupan. Untuk bergerak, menyerukan nilai kebenaran sejati ke tiap makhluk, dan bersabar dengan segala rintangan yang akan dilalui sebagai resiko alami dari setiap perjuangan.

Tidak semata kerjapan mata atau alunan indah yang menyapa gendang telinga yang membuat hidup menjadi abadi dalam kesejatiannya. Namun, hidup dan berjuang untuk tegaknya Risalah langit di bumi ini.

Yang manakah lakon hidup kita?

Friday, December 15, 2006

Pagi. Selamat Datang Keajaiban

Alam menyimpan banyak pelajaran, yang hadir menyapa hati, menyadarkan diri bagi mereka yang masih berjalan dalam petunjuk cahaya nurani. Menggugah akal akan eksistensi Sang Maha Segalanya. Menghampar indah membentang dalam jalinan keharmonisan dan keserasian yang mengagumkan. Untuk secara refleks menggerakkan indera pengecap bertasbih, Maha Suci Allah Penggenggam Alam Semesta. Suatu bentuk ketundukan jujur yang alami untuk ukuran makhluk yang mendapat tempat terhormat di jajaran semua ciptaan-Nya.

Dengarlah, dengar kicauan burung menyambut pagi. Saat sang surya mulai menampakkan pijarannya. Melesatkan larik-larik sinar di sela dedaunan pohon. Menjelma kokoh ribuan panah kuning keemasan. Bercahaya, meneduhkan beranda jiwa. Memberi gradasi unik, seni tingkat tinggi pada ruang hati yang kerap tertutup kabut ego dan kemarahan.

Melangkahlah keluar. Akan kau dapati kumpulan tetesan air yang mewujud dalam butiran embun. Menggantung indah di ujung dedaunan, memantulkan kilauan mentari. Melukiskan bayangannya dalam kristal bening bersih. Pantulan kesucian yang belum terjamah. Mendekat, dan sentuhlah, rasakan aliran kesejukan menerobos dingin di pori-pori, yang telah hampir mati rasa akibat seringnya bersentuhan dengan hal-hal yang dilarang-Nya. Dalami, alirannya akan melahirkan kekuatan maha dahsyat yang akan menggerakkan otot mencapai level puncak kekuatan kesegaran.

Ikutilah kebeningan pantulannya. Pindahkan ke hatimu yang keras membatu, termakan rutinitas dunia yang menjemukan, menjauhkan pijakan iman dari sanubarimu. Maka engkau akan menjadi manusia utuh kembali dengan kelembutan hati, mengembalikan segala kehormatan yang telah kau sandang sejak awal penciptaan.

Bentangkan kedua tanganmu, rasakan belaian lembut sang angin. Biarkan ia menelusuri semua jasad kasarmu. Ketenangan sentuhannya akan meresap dalam endapan batinmu, mencairkan dosa yang telah berkarat, menghapus buram maksiat yang menghalangi cahaya mulia memancar dari kedua mata dan wajahmu.

Berhentilah sejenak. Di sini. Di pagi hari. Hirup unsur kehidupannya, biarkan menelisik jauh menembus semua ruang dalam paru-parumu. Perlahan, katupkan kedua mata. Resapi dengan nurani semua keagungan yang dihadirkannya. Niscaya, perasaan akan mengirim pesan kepadamu “Dalam pagi, terdapat banyak keajaiban

Maka Nikmat Tuhanmu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan?

Wednesday, December 13, 2006

Terima Kasih, Cinta.

Apa kabar cinta? 2 pekan tidak bertemu denganmu, telah memahat rindu yang makin dalam di relung hatiku. Meresahkan pikiranku yang diam dari diskusi hangatmu yang selalu menemaniku hingga jarum jam menunjukkan pukul 23.00 lewat. Kerinduan yang 2 pekan membuat mataku selalu terjaga di tepi tidur, karena kesepian yang asing dalam belantara dunia yang bersatu mengoyak nilai idealisme yang menyelimuti langit jiwaku.

Aku kangen. Kangen dengan suara indahmu yang selalu menyadarkanku akan kekhilafan yang kuperbuat. Kangen dengan teguran lembutmu, ketika melihat reaksi emosionalku merespon semua ketidakadilan yang bertahta di tanah ini. Untuk tetap memintaku berjuang, namun dengan marhalah yang terstruktur, bukan dengan penyikapan perasaan semata. Kangen dengan ketegasanmu yang memintaku bertahan, bergabung dengan para arsitek peradaban, menyatu dengan serpihan ombak yang lain, menanti tiupan angin untuk kemudian menjelma menjadi gelombang besar, ketika ketergesa-gesaan mulai singgah di tanah batinku.

Aku kangen. Kangen dengan kehangatan yang kau alirkan setiap kali tanganmu menjabat erat tanganku. Kangen dengan tepukan lembutmu di bahuku, menguatkan, ketika melihat wajahku tertunduk karena beban masalah yang mengganjal. Kangen dengan senyum dan tatapan matamu, yang selalu menguatkan tekadku agar tetap lurus melangkah di jalan cita-cita dan harapan yang penuh aral menghadang dan kedzoliman yang merajalela.

Sampai malam ini, ketika kedua kakiku kembali menapaki pelataran rumahmu. Kerinduan itu makin membuncah. Hujan yang turun sejak sore tidak menyurutkan langkahku untuk segera melangkah ke pintumu, mengetuk dan mengucapkan salam penghuni syurga. Engkau masih menyambutku seperti dahulu. Dengan senyuman yang selalu menentramkan kegelisahan hatiku. Dengan keramahan yang selalu menjadi ciri khasmu, mempersilahkanku masuk ke ruangan yang selalu bercahaya, dipenuhi ayat-ayat cinta yang tak pernah lekang meluncur dari kedua bibirmu yang tak pernah kering dari dzikir. Engkau masih tetap memintaku duduk dekat denganmu, mendengarkan semua keluh-kesahku akan rumitnya teka-teki kehidupan yang harus kupecahkan.

Cinta, sungguh. Kehadiranmu telah mendatangkan warna baru dalam pelangi kehidupanku. Mengangkat jasad kotor ini dari jurang kelam, yang sempat bercengkrama mesra dengan kepekatan maksiat. Engkau masih setia menjadi tetesan air, menyegarkan padang pasir akan
dahagaku tentang hakikat segala sesuatunya. Yang tak bosan mengalir, membasahi semua lorong jiwa, akal, dan imanku yang masih gersang tergerus erosi kejahiliyahan.

Cinta, doa yang kau ajarkan kepadaku, di tiap waktu akan ikatan hati agar dikekalkan dalam mahabbah, yang setia menjadi penutup pertemuan kita, masih abadi di tiap subuh, ketika malaikat menembus pintu langit, mengabarkan kepada Rabb Semesta Alam akan kesungguhanku untuk terus berjalan menuju perbaikan diri.

Terima Kasih, Cinta.

tribute to : sahabat yang tetap setia mengikuti kajian di Lingkar Quantum. Kalianlah taman cinta itu. Kalianlah pelaku cinta itu. Karena, ketika orang bertanya tentang cinta kepadaku, aku akan menjawabnya : KALIANLAH CINTA ITU!

Monday, December 11, 2006

surat buat bunda

Bunda, aku capek, lelah. Kehidupan di luar sana benar-benar sangat tidak bersahabat. Individualisme seolah menjadi keharusan. Hukum rimba yang menjadi patokan. Tidak peduli bagaimana nasib orang lain, yang penting diri sendiri bisa hidup. Kejujuran menjadi sesuatu yang langka. Sangat susah menemukannya. Tampil dengan penuh kepalsuan. Seperti manusia-manusia yang merayakan pesta topeng pada zaman Romeo-Juliet dulu. Susah menebak jati diri mereka yang sesungguhnya.

Kadang mereka menghampiri dengan ramah penuh senyuman. Menjabat tangan dengan kehangatan. Namun setelah itu, seringai mereka muncul seperti iblis yang menyeramkan dengan dua tanduk merah di atas kepalanya. Berceloteh tanpa beban, merekam semua jejak kesalahan dan kebobrokan mereka yang dianggap musuh atau saingan untuk dikemudian hari digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan wibawa dan kehormatannya.

Sungguh bunda, praktek-praktek mafia yang sering aku saksikan di layar kaca, menjelma nyata di hadapanku. Mungkin belum sekasar mafia hongkong yang saling kejar, membunuh dengan menggunakan senjata tajam atau senjata api. Memang tidak sesadis mafia italia yang selalu menghancurkan musuhnya dengan tindakan yang sangat susah diterima oleh logika berpikir yang masih sehat. Namun, prinsip yang mereka gunakan sama, ‘jatuhkan yang lain, entah bagaimana caranya asalkan yang menang adalah kita’.

Bunda, aku minta maaf kalau aku menangis. Beban itu berat. Ideologi yang kupunya benar-benar dipertaruhkan. Aku ingat, seorang sahabat pernah menasehatiku ‘Ideologi yang kita punya, baru disebut ideologi jika ia dibenturkan dengan ideologi yang lain. Dan itu akan banyak terjadi di dunia luar kampus. Jika engkau menganggap dirimu sudah memiliki ideologi, namun masih sebatas teriakan di kampus-kampus, ia belumlah nyata. Ideologi itu masih berupa khayalan’.

Bayangkan, bunda. Sampai-sampai mereka ‘memaksa’ agar aku mengikuti 'cara bermain’ mereka yang sama sekali tidak bisa diiriskan dengan ideologi yang telah mengakar di jasad dan jiwaku. Dengan iming-iming harta, bahkan ketika ditolak, mereka malah mengancam akan menamatkan karir bahkan hidupku.

Padahal, bagaimana mungkin aku bisa menerima aturan yang mereka anut? Engkau telah mengajarkan kepadaku akan hakikat kejujuran. Untuk senantiasa bertahan berjalan di atasnya, bagaimanapun sukar dan pahitnya resiko yang akan kuhadapi sebagai konsekuensi istiqomah di atasnya. Lagipula, batinku masih sadar. Bahwa akan ada hari dimana semua hal akan dipertanggungjawabkan.

Namun bunda, waktu aku mencoba menjelaskan tentang ini, mereka malah tertawa sinis. ‘Kalau ingin bertahan hidup, tanggalkan idealismemu!’ Mereka menjawab seperti itu. Mereka mencemooh prinsip hidup yang telah bertahun-tahun kujalani. Menganggap diriku kolot, bodoh dan tidak mengerti tantangan hidup.

Bunda, aku capek. Lelah. Namun aku tidak akan menyerah. Aku tidak ingin tanganku berlumur darah orang yang tidak berdosa. Aku tidak ingin melacurkan ideologiku dengan harta dunia yang sangat sedikit dan nista. Aku tidak rela daging di tubuhku tumbuh dari sesuatu yang haram. Rasul mengajarkan aku seperti itu.

Bunda, aku menulis surat ini bukan untuk berkeluh kesah menyesali hidup. Sebab, nasehatmu masih tetap terpatri utuh di sanubariku. Bahwa hidup adalah perjuangan. Dan kita baru memiliki arti jika berjuang untuk mempertahankan sesuatu yang kita yakini. Aku menulis ini semata untuk menegaskan kepada diriku sendiri, bahwa perjuangan benar-benar melelahkan. Dan bahwa bertahan dengan nilai kebenaran yang kita yakini, akan mendatangkan kenikmatan tersendiri. Meskipun harus menguras energi fisik dan jiwa.

Bunda, aku tidak akan berkata seperti pada tahun pertama aku mendapat gelar sebagai seorang mahasiswa. Ketika berbenturan untuk pertama kali dengan realitas kerasnya kehidupan. ‘Bunda, aku rindu menjadi anak kecil. Hidup tanpa beban, tertawa bermain sepuasnya. Jika ada masalah, akan selalu ada sosok yang akan menolong kita. Sesosok malaikat yang kita sebut ibu’. Aku tidak akan mengatakan lagi kalimat itu. Sebab, masih jelas dalam ingatanku kemarahanmu sebagai reaksi dari pernyataanku. ‘Engkau harus mampu hidup di masa depan! Sebab ini yang akan kau hadapi. Jangan pernah berpikir memutar waktu ke masa lalu. Sebab itu adalah hal yang mustahil. Tidak ada yang mudah daam hidup ini. Bangkit, dan beranilah. Hadapi semua tantangan yang ada didepanmu dengan kepala tegak. Engkau seorang laki-laki. Terlebih, engkau adalah seorang muslim!’

Bunda, engkau benar. Makanya alhamduliLlah sampai sekarang aku masih bisa bertahan. Namun, sungguh. Meskipun aku tidak akan mengulang lagi kalimat di atas, dan diriku bukan lagi anak kecil, namun bagiku engkau tetaplah sosok malaikat yang selalu ada tiap kali keresahan melanda dan semangatku butuh direcharge. Sosok yang selalu menginspirasi semua perubahan yang melandasi gerak langkahku dengan untaian nasehat yang tak pernah putus.

Bunda, aku rindu ingin berbaring lagi di pangkuanmu tiap selesai sholat maghrib dan subuh, mendengar lantunan ayat suci al-qur’an yang mengalir indah dari bibirmu. Dan usapan lembut tanganmu di kepalaku, memberkahiku dengan sejuta doa peneguh hati dan harapan akan kemenangan jiwa.

Bunda, aku memang capek dan lelah. Aku mengatakan ini semata mencoba jujur pada diri sendiri, bahwa aku hanyalah manusia biasa. Namun aku tidak akan menyerah. Tetaplah berdo'a untukku.

Bunda, aku bangga menjadi anakmu!

nb: catatan perjalanan 8 hari di kota Bandar Madani parepare.

Thursday, December 07, 2006

Kematian Nurani

Entah apa yang ada dalam benak aleg DPRD kita yang melakoni aktivitas mesum dengan seorang penyanyi dangdut yang terkenal religius saat merekam adegan bejatnya menjadi sebuah video yang menggambarkan kegersangan nurani mereka akan nilai sebuah kesucian dan kebaikan. Namun yang pasti, apapun alasannya kejahatan tetaplah kejahatan yang tidak boleh ditolerir. Apalagi jika dilakukan oleh mereka yang secara konstitusi kenegaraan, seharusnya menjadi teladan bagi rakyat yang telah mempercayakan suara dan aspirasi di pundaknya.

Entah apa yang melintas dalam hati keduanya, saat aib mereka terbongkar di hadapan public. Yang dengan tenang menceritakan awal mula perkenalan sampai berlangsungnya ‘praktek kebinatangan’ yang mereka lakukan sambil sesekali mengusap air mata yang meluncur turun dari sudut matanya. Atau memohon maaf kepada masyarakat, mengundurkan diri dari jabatan publik dengan permohonan tertulis atau melalui mulut para pengacara dan juru bicaranya. Namun sejatinya, keburukan tetaplah keburukan. Seindah apapun polesan untuk membenarkannya, tetap saja secara hakiki telah mencederai nilai kemanusiaan yang murni. Melukai martabat kesucian fitrah, dan mengotori aktivitas perilaku insan yang diagungkan oleh Penciptanya dengan sebaik-baik bentuk.

Bukan…bukan menghujat atau menjatuhkan wibawa seseorang atau sekelompok masyarakat. Tidak pula mencaci maki atau mengungkapkan aib dan kesalahan orang lain. Tapi semata hanya keprihatinan diri akan kehancuran moral yang makin menghitam, mengelilingi lingkungan keseharian kita. Merangkul semua strata social masyarakat kita, dari petinggi negeri sampai gembel di emperan jalan. Seperti mendung yang menghalangi kehangatan cahaya mentari ketika hujan badai akan singgah di bumi.

---oOo---

Laqod’ khalaq’nal insaana fii ahsani taqwiim. Dan Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Demikian Al-Qur’an suci berbicara. Dengan karunia akal dan hati, yang mengangkat derajatnya melebihi semua makhluk semesta. Bahkan malaikat dan iblis, 2 makhluk yang diciptakan dari anasir cahaya dan api diperintahkan bersujud di hadapan kita (manusia) sebagai bukti keagungan yang dianugerahkan Sang Khaliq (Pencipta) kepada sosok yang dihargai dengan sebutan al-insaan.

Namun, mengapa gelar kehormatan itu justru kita tanggalkan? Malah berbangga dengan perilaku yang tak lagi memiliki perbedaan dengan binatang yang tidak dibekali dengan karakteristik akal dan nurani? Dipendam dimana perasaan malu yang menjadi perhiasan abadi iman kita? Kemudian memilih meruntuhkan tembok kemuliaan dan bersinergi dengan musuh abadi yang menjadi seteru kita sejak dahulu?

Ah... Tuhan Maha Pengampun. Bukankah ia selalu menerima taubat? Pintu ampunan-Nya seluas langit dan bumi kan? Kita kan diberi kebebasan untuk memilih, tidak ada salahnya dong...!

Tidak...tidak semudah itu kita membenarkan semua tindakan yang menjadi pilihan hidup kita. Sebab, hidup tetaplah perjuangan. Filosofi ini belum berubah. Ingatlah, status kehormatan ini kita dapatkan bukan dengan sim salabim. Tapi melalui proses yang rumit. Belajar. Ketika kita diminta oleh Sang Khaliq untuk menyebutkan semua nama benda yang ada di jagad ini, kita bisa. Dan ini karena ilham (pencerahan) yang ditanamkan Rabb di pengetahuan kita dengan proses belajar. Sebab ini adalah pertanggungjawaban. Terlebih, ajal datang tidak pernah memilih. Dalam kebaikankah atau saat diri sementara larut dalam gelimang kenistaan dosa dan maksiat.

Maka memilih antara kebaikan dan keburukan yang menghampar di hadapan kita, pilihan kebaikan haruslah tetap menempati posisi tertinggi. Jauh mengalahkan semua versi keburukan, bagaimanapun hebat dan menariknya syahwat terhadap segala keindahan dan tipu dayanya. Atau, akankah kita bungkam karena tidak mampu menjawab, saat ditanyakan status -kemanusiaan- kita di pengadilan akhirat kelak?

Ilahi...anta yaa Rahman... kebeningan cahaya nurani ini akan makin memudar. Diselimuti gelap pekat kabut angkara yang ditebarkan oleh syahwat dan kemaksiatan. Jika bukan karena hidayah, cinta dan kasih sayang-Mu, tentulah diri ini pun akan berkubang dalam kemaksiatan yang menistakan. Robb, jangan lepaskan kami dari dekapan-Mu..