Wednesday, December 20, 2006

Lagi, tentang keajaiban pagi hari.

Dunia terus berputar. Bergerak, mempergilirkan masa dalam putaran jam. Menyapa hari lewat sinar mentari yang menghidupkan, menghias angkasa dengan taburan bintang melukis malam. Keindahan menyemai. Memikat hati makhluk bertitel manusia untuk menghampirinya. Tersenyum, menerima ajakannya untuk ikut berputar, larut dengan semua keindahan yang ditawarkannya.

Ia begitu hijau. Menyejukkan mata bagi yang memandangnya. Membius akal, menyeretnya untuk bergabung menikmati kuasa kecantikannya. Sebab, ia adalah perhiasan. Yang hasrat tak mampu memiliki daya lebih untuk menolak kharismanya. Maka berlombalah kita mendapatkannya, dekat, untuk lebih akrab dengan semua tawaran kenikmatan yang disajikannya.

Hasrat keinginan mulai menggelora, menyambung nafsu yang memang tidak pernah merasa puas dengan semua yang ada. Menikam nurani dengan belati maksiat. Maka yang hadir adalah wajah hampa tanpa titik kehidupan dalam cahaya mata. Berjalan kaku laksana robot, mengejar materi dari detik ke menit. Merangkum khayalan dalam hitungan jam yang terakumulasi menjadi hari. Ya...kita mulai bergerak mekanis. Memecah waktu dalam lingkaran setan. Mengumpulkan nilai kekuatan tertinggi material yang pernah dihasilkan manusia dalam sejarah hidupnya. Uang. Menghipnotis sempurna pikiran yang semakin kosong dari nilai sejati kehidupan.

Berulanglah perilaku itu dalam keseharian. Monoton dalam gerak yang mulai kehilangan elastisitasnya. Menapaki impian dengan kepayahan yang menggelisahkan. Sampai, kejenuhan mulai menyentuh laju momentumnya. Dimana kenikmatannya? Semakin berkumpul nilai materinya, mengapa justru kekosongan yang menghampar? Impian kebahagiaan makin menjauh, terbang ke langit idealisme yang utopis. Lalu untuk apa semua ini?

Jiwa kembali resah. Logika tergelitik untuk menganalisa. Oh, ada yang terlupa selama ini. Yang membuat langkah cita-cita mengabur, menyeret diri menjadi mayat hidup yang tak bernilai selain apa yang masuk dan keluar dari bejana perut. Sekedar makan minum seperti hewan tanpa nilai keagungan yang dapat menjadi kebanggaan di hadapan-Nya kelak.

Cahaya nurani, masihkah ia bersinar setelah sebelumnya tertikam belati maksiat di penghujung hari? AlhamduliLlah, ia masih disana. Sendirian di sudut hati yang mulai kelam karena titik debu menyelimuti permukaannya. Bertahan dalam kesepiannya, masih setia dengan cahaya murni yang merupakan karunia fitrah dari-Nya.

Maka, ketika dunia makin menyibukkan, saat pikiran demikian melelahkan, sekali lagi saatnya berhenti sejenak. Tenang dalam diam. Di sini, di pagi hari. Nyalakan kembali pantulan cahaya nurani yang mulai meredup terkikis egoisme dan kesibukan semu yang menipu. Tajamkan rasa, lembutkan hati. Dengan dzikir rutin setiap pagi.

Inspired from : chat with mbak nuni INCO