Saturday, December 16, 2006

Kulminasi Kesempurnaan Hidup

Secara unik, hidup adalah peristiwa tarbiyah/pembelajaran. Pada setiap langkah dan keputusannya. Hidup adalah proses belajar tumbuh dan berkembang, dalam setiap celah dan ruangnya. Bergerak, menyatukan semua anasir bentukannya mencapai titik kulminasi kesempurnaan dalam setiap jenak nafas tersisa.

Mata yang masih mengerjap, membasahi selaput tipis pembatas retina dengan dunia luar. Masih mampu memandang semua peristiwa hidup yang terus berputar menampilkan slide aktivitas yang saling berangkaian membentuk jalilan fragmen lengkap kehidupan. Telinga yang beresonansi membentuk alunan nada murni yang dihasilkan oleh nyanyian alam, membentuk musik jiwa dalam tubuh. Demikian indera yang lain.

Namun, itu sebatas hidup biologis. Yang masih beriringan dengan peredaran darah di setiap pembuluh yang dipompa oleh jantung yang masih menyisakan detakan per hitungan waktu. Serta supply oksigen untuk proses pembakaran dan pernafasan yang dilakoni oleh paru-paru. Ini semata masih mensejajarkan kita (al-insan) dengan hewan dan tumbuhan.

Jika demikian, yang manakah kehidupan sejati di bumi fana ini?

Sosok agung, dengan wajah teduh bercahaya menyebarkan senyum ukhuwah ke seluruh manusia. Tidak cukup sampai di sana. Semua makhluk lain turut merasakan berkah keagungan kehadirannya di planet ini. Dengan kelembutannya, hati yang telah mati membatu menjelma sebening kristal. Perangai buruk yang menjadi warisan salah turun-temurun dan mengakar kuat dalam budaya, menguap. Tergantikan dengan pribadi halus, yang mata mereka tidak pernah alfa mengalirkan bening air, dari hati yang rindu kedamaian akan pertemuan dengan Sang Kekasih.

Atau pribadi kecil kurus, yang dengan senyum penuh keikhlasan melangkahkan kaki dengan tegar menuju tiang gantungan. Sikap jiwa yang membuat 2 sipir penjara dan algojo pengeksekusi hukuman matinya menjadi gundah, gelisah. Hati mereka terusik akan ketenangan dan pancaran jiwa yang mengalir di wajah dan semua tindakannya. Yang menyapa dengan senyuman, dan menyalami mereka, seolah pamit pada keluarga sendiri. Ungkapan jujur akhirnya lahir dari mulut mereka ‘Aku tidak sanggup mengeksekusi anda’. Namun, pribadi kecil kurus itu hanya berkata ‘Laksanakan tugasmu, Allah tahu apa yang ada dalam hatimu’.

Maka hasilnya mulai berbuah sekarang. 1 Milyar lebih, penduduk bumi bernaung dalam indahnya payung keadilan risalah yang dibawa sosok agung dengan wajah bercahaya tersebut. Sipir penjara dan eksekutor hukuman gantung mengikrarkan 2 kalimat pembebas, kalimat syahadat. Azamul Fatih, jiwa/semangat muda menjadi bara di pijar dada pemuda muslim, untuk tetap berjihad, menggentarkan tirani penyembah setan di singgasana kekuasaannya. Hasil didikan ideologi pribadi kecil kurus yang syahid di tiang gantungan dengan bibir tersenyum dan wajah menghadap kiblat.

Inilah hidup sejati. Jasad mereka telah menyatu bersama tanah. Namun nilai perjuangan yang diwarisakannya masih bertahan, senantiasa digaungkan menjadi nyanyian kebenaran. Bertahan, dan menang. Nama mereka masih abadi di bibir manusia, tercatat indah dalam ukiran diary sejarah. Mereka hidup, karena mereka berjuang untuk sebuah kebenaran. Istiqomah/konsisten dalam cita-citanya, meskipun harus berhadapan dengan kebuasan sistem nilai pengusung ideologi dunia, yang ingin menenggelamkan dan memadamkan cahaya abadi ini ke lembah gelap kenistaan. Raga mereka tidak lagi bersama kita, namun ideologi mereka terus membara di nurani manusia yang tetap terjaga fitrah kelahirannya. Maka mereka tetap hidup, abadi. Mengharumi taman sejarah dengan jejak langkah perjuangannya.

Demikian, yang telah dilakoni oleh sang sosok agung, RasuluLlah Muhammad SAW. Atau sosok kecil kurus Sayyid Quthb, yang mengajarkan kepada kita, hakikat murni nilai hidup dalam perjalanan kehidupan. Untuk bergerak, menyerukan nilai kebenaran sejati ke tiap makhluk, dan bersabar dengan segala rintangan yang akan dilalui sebagai resiko alami dari setiap perjuangan.

Tidak semata kerjapan mata atau alunan indah yang menyapa gendang telinga yang membuat hidup menjadi abadi dalam kesejatiannya. Namun, hidup dan berjuang untuk tegaknya Risalah langit di bumi ini.

Yang manakah lakon hidup kita?