Monday, December 11, 2006

surat buat bunda

Bunda, aku capek, lelah. Kehidupan di luar sana benar-benar sangat tidak bersahabat. Individualisme seolah menjadi keharusan. Hukum rimba yang menjadi patokan. Tidak peduli bagaimana nasib orang lain, yang penting diri sendiri bisa hidup. Kejujuran menjadi sesuatu yang langka. Sangat susah menemukannya. Tampil dengan penuh kepalsuan. Seperti manusia-manusia yang merayakan pesta topeng pada zaman Romeo-Juliet dulu. Susah menebak jati diri mereka yang sesungguhnya.

Kadang mereka menghampiri dengan ramah penuh senyuman. Menjabat tangan dengan kehangatan. Namun setelah itu, seringai mereka muncul seperti iblis yang menyeramkan dengan dua tanduk merah di atas kepalanya. Berceloteh tanpa beban, merekam semua jejak kesalahan dan kebobrokan mereka yang dianggap musuh atau saingan untuk dikemudian hari digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan wibawa dan kehormatannya.

Sungguh bunda, praktek-praktek mafia yang sering aku saksikan di layar kaca, menjelma nyata di hadapanku. Mungkin belum sekasar mafia hongkong yang saling kejar, membunuh dengan menggunakan senjata tajam atau senjata api. Memang tidak sesadis mafia italia yang selalu menghancurkan musuhnya dengan tindakan yang sangat susah diterima oleh logika berpikir yang masih sehat. Namun, prinsip yang mereka gunakan sama, ‘jatuhkan yang lain, entah bagaimana caranya asalkan yang menang adalah kita’.

Bunda, aku minta maaf kalau aku menangis. Beban itu berat. Ideologi yang kupunya benar-benar dipertaruhkan. Aku ingat, seorang sahabat pernah menasehatiku ‘Ideologi yang kita punya, baru disebut ideologi jika ia dibenturkan dengan ideologi yang lain. Dan itu akan banyak terjadi di dunia luar kampus. Jika engkau menganggap dirimu sudah memiliki ideologi, namun masih sebatas teriakan di kampus-kampus, ia belumlah nyata. Ideologi itu masih berupa khayalan’.

Bayangkan, bunda. Sampai-sampai mereka ‘memaksa’ agar aku mengikuti 'cara bermain’ mereka yang sama sekali tidak bisa diiriskan dengan ideologi yang telah mengakar di jasad dan jiwaku. Dengan iming-iming harta, bahkan ketika ditolak, mereka malah mengancam akan menamatkan karir bahkan hidupku.

Padahal, bagaimana mungkin aku bisa menerima aturan yang mereka anut? Engkau telah mengajarkan kepadaku akan hakikat kejujuran. Untuk senantiasa bertahan berjalan di atasnya, bagaimanapun sukar dan pahitnya resiko yang akan kuhadapi sebagai konsekuensi istiqomah di atasnya. Lagipula, batinku masih sadar. Bahwa akan ada hari dimana semua hal akan dipertanggungjawabkan.

Namun bunda, waktu aku mencoba menjelaskan tentang ini, mereka malah tertawa sinis. ‘Kalau ingin bertahan hidup, tanggalkan idealismemu!’ Mereka menjawab seperti itu. Mereka mencemooh prinsip hidup yang telah bertahun-tahun kujalani. Menganggap diriku kolot, bodoh dan tidak mengerti tantangan hidup.

Bunda, aku capek. Lelah. Namun aku tidak akan menyerah. Aku tidak ingin tanganku berlumur darah orang yang tidak berdosa. Aku tidak ingin melacurkan ideologiku dengan harta dunia yang sangat sedikit dan nista. Aku tidak rela daging di tubuhku tumbuh dari sesuatu yang haram. Rasul mengajarkan aku seperti itu.

Bunda, aku menulis surat ini bukan untuk berkeluh kesah menyesali hidup. Sebab, nasehatmu masih tetap terpatri utuh di sanubariku. Bahwa hidup adalah perjuangan. Dan kita baru memiliki arti jika berjuang untuk mempertahankan sesuatu yang kita yakini. Aku menulis ini semata untuk menegaskan kepada diriku sendiri, bahwa perjuangan benar-benar melelahkan. Dan bahwa bertahan dengan nilai kebenaran yang kita yakini, akan mendatangkan kenikmatan tersendiri. Meskipun harus menguras energi fisik dan jiwa.

Bunda, aku tidak akan berkata seperti pada tahun pertama aku mendapat gelar sebagai seorang mahasiswa. Ketika berbenturan untuk pertama kali dengan realitas kerasnya kehidupan. ‘Bunda, aku rindu menjadi anak kecil. Hidup tanpa beban, tertawa bermain sepuasnya. Jika ada masalah, akan selalu ada sosok yang akan menolong kita. Sesosok malaikat yang kita sebut ibu’. Aku tidak akan mengatakan lagi kalimat itu. Sebab, masih jelas dalam ingatanku kemarahanmu sebagai reaksi dari pernyataanku. ‘Engkau harus mampu hidup di masa depan! Sebab ini yang akan kau hadapi. Jangan pernah berpikir memutar waktu ke masa lalu. Sebab itu adalah hal yang mustahil. Tidak ada yang mudah daam hidup ini. Bangkit, dan beranilah. Hadapi semua tantangan yang ada didepanmu dengan kepala tegak. Engkau seorang laki-laki. Terlebih, engkau adalah seorang muslim!’

Bunda, engkau benar. Makanya alhamduliLlah sampai sekarang aku masih bisa bertahan. Namun, sungguh. Meskipun aku tidak akan mengulang lagi kalimat di atas, dan diriku bukan lagi anak kecil, namun bagiku engkau tetaplah sosok malaikat yang selalu ada tiap kali keresahan melanda dan semangatku butuh direcharge. Sosok yang selalu menginspirasi semua perubahan yang melandasi gerak langkahku dengan untaian nasehat yang tak pernah putus.

Bunda, aku rindu ingin berbaring lagi di pangkuanmu tiap selesai sholat maghrib dan subuh, mendengar lantunan ayat suci al-qur’an yang mengalir indah dari bibirmu. Dan usapan lembut tanganmu di kepalaku, memberkahiku dengan sejuta doa peneguh hati dan harapan akan kemenangan jiwa.

Bunda, aku memang capek dan lelah. Aku mengatakan ini semata mencoba jujur pada diri sendiri, bahwa aku hanyalah manusia biasa. Namun aku tidak akan menyerah. Tetaplah berdo'a untukku.

Bunda, aku bangga menjadi anakmu!

nb: catatan perjalanan 8 hari di kota Bandar Madani parepare.