Wednesday, March 28, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang universitas kehidupan*

Fragmen 12

Belajarlah membaca dengan hati, bukan dengan pikiran’ kalimat pembuka yang kau ucapkan pagi itu, saat mengajakku ke pinggiran kota. Di deretan rumah-rumah kardus yang saling berdempetan tanpa bentuk. Kumuh, sumpek, hampir tak menyisakan sejengkalpun lorong udara untuk sekedar bernafas dengan lega. Selokan berair hitam yang penuh sampah, mengalir. Menahan nafas sambil berjalan, tetap saja aroma busuk yang menguar memenuhi rongga paru-paru. Aku mual.

Tidak terbiasa ya?’ tanyamu. Aku mengangguk. Tak kuasa membuka mulut. Sambil menengadah ke langit, kau berucap pelan ‘jalan lain masih terbuka untukmu’. ‘Tidak…tidak…aku harus bertahan’. Tekad ini harus menyatu dalam aliran darahku.


Senja mulai memerah di ujung barat. Dalam senyum, kau kembali bertanya ‘Masihkah hatimu membatu melihat sebagian realitas negerimu yang seperti ini?'


Fragmen 13

Udara konflik masih membumbung tinggi. Mengangkasa, seiring dengan asap hitam tebal yang meninggi. Meninggalkan bara jejak api dengan segala keangkuhannya. Anyir darah menggantikan kesegaran udara pagi. Tak ada tawa riang dan kegembiraan anak-anak yang berlari berkejaran di lapangan dan tepian sungai. Toleransi dan kasih sayang tercetak tak berdaya, dalam lembaran putih kertas buku dan pemanis bibir kala pertemuan.

Kau mengajakku ke sana. Di antara desingan peluru, lemparan tombak dan lesatan anak panah. Refleks, aku hanya bisa menggelengkan kepala. Dan kau melangkah dengan tersenyum. Dari kejauhan, masih kulihat sosokmu memapah mereka yang terluka. Dengan penuh kasih, membelai kepala anak-anak yang menangis ketakutan. Membalut luka dan membersihkan darah yang mengotori tubuh para korban yang tak mengerti mengapa harus mengalami hidup seperti itu.

Sekembalimu dari sana, kau berucap ‘Sejarah, hanya mengenang 2 karakter manusia. PEJUANG atau PECUNDANG


Fragmen 14

Masih ingat jalan lurus yang ujungnya tak kelihatan dari tempatmu berdiri waktu itu?’.

Ya’, jawabku.

Sambil mendesah, kau melanjutkan ‘Jalan itu sangat panjang. Ia tak bisa diukur dari usia yang kita punya. Bahkan, umur satu generasi belum bisa membuat perjalanan ke sana akan berakhir. Sekelilingnya dipenuhi onak duri, sesuatu yang tak sempat kau lihat sebelumnya. Kepayahan, peluh, air mata bahkan darah akan menjadi harga mati bagi yang melaluinya. Namun, kebahagiaan sejati ada di sana.

Apa yang harus aku lakukan jika aku tetap memilihnya?

Belajarlah bertahan. Dengarkan selalu suara nuranimu. Jangan menyerah. Sebab, perjuangan baru akan bernilai dengan tekad yang tak pernah padam.

---oOo---

‘Bukan POTENSI, namun PILIHAN yang membuat setiap orang berbeda’

*inspired from 'dia' yang besok akan MILAD. Saat semangat perlawananku kembali membara.

Labels: