Monday, March 26, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang sesuatu yang tercabik*

Fragmen 8


Resah. Perasaan itu masih saja setia mengikutiku. Tetap sama seperti yang dulu. Seperti saat kusaksikan ribuan TKI harus jadi kuli di negeri sendiri. Saat ratusan anak harus menderita lumpuh layu dan gizi buruk. Saat para ibu harus mengemis demi sebotol susu untuk buah hati dan sepiring nasi untuk keluarganya. Saat anak usia sekolah harus mengalahkan deru mesin kendaran di tiap perempatan lampu merah, menadahkan tangan untuk sekeping rupiah.

Sedih. Kosa kata inipun masih susah beranjak dari pikiranku. Tetap sama seperti yang dulu. Saat beragam bencana datang silih berganti. Saat nurani kemanusiaan bertekuk lutut di bawah tirani kekuasaan dan materi. Saat logika dan moralitas, digadaikan dalam lembaran kertas uang dan prestise semu atas nama status sosial. Saat inteletualitas dihargai dengan deretan huruf dan angka dalam lembaran ijazah dan transkrip nilai.

Geram.sikap hati yang juga masih menari di ruang jiwaku. Tetap sama seperti yang dulu. Saat nyawa manusia tak lebih dihargai dari bangkai busuk binatang liar. Saat ego lebih banyak berbicara dibanding kemurnian nurani. Saat alur anarkisme menjelma budaya di ketenangan pelosok negeri ini.

Maka satu-satunya pilihan rasional adalah dengan BERGERAK! Sebab, DIAM berarti MATI. Bukankah PERUBAHAN hanya bisa terwujud dengan BERGERAK?

Namun, ada yang makin menambah beban ini. Setelah keresahan, kesedihan, dan kegeraman. Ternyata ditambah lagi dengan kebingungan. Bagaimana tidak, kebanyakan kita malah memilih untuk saling menyalahkan. Di mana prinsip kerja sama yang diajarkan orang tua kita dahulu saat kita masih kanak? Ke mana daya juang yang ditanamkan pendahulu kita saat kita mempelajari sejarah mereka? Ke mana nalar berpikir kita disembunyikan, sementara beragam tingkat pendidikan telah kita enyam?

Kawan, sudah cukup banyak air mata ibu pertiwi ini terkuras. Jangan lagi ditambah dengan perpecahan di antara kita, anak-anaknya. Bukankah perbaikan lebih berharga dibanding saling tuding? Tidakkah solusi lebih bermakna dibanding saling curiga? Berdialog, tetulah lebih dewasa dibanding memendam buruk sangka yang akan berpotensi melahirkan fitnah?

Kawan, MERAH-PUTIH itu masih melambai, meski hanya setengah tiang. Ya…meski hanya setengah tiang. Yang dia butuh adalah angin sejuk perubahan untuk mengembalikan kemegahan kibarannya. Yang ia butuhkan adalah tarikan dan dorongan agar kembali ke puncak tiangnya, dan mengangkasa ke seantero dunia. Mengabarkan eksistensinya dengan kumandang ‘INDONESIA BELUM MENYERAH’

Ya, INDONESIA BELUM MENYERAH, selama masih ada pemuda yang resah, sedih, dan geram dengan semua sejarah yang telah diukirnya. Pemuda itu adalah aku, kamu, dia, kita, dan mereka!

*inspired from 'dia' yang 3 hari lagi akan MILAD. I LOVE U SO MUCH :)

ps: aku yakin, ibu pertiwi akan kembali tersenyum jika melihat kita semua bergandengan tangan :)

Labels: