Friday, June 01, 2007

sebab karya tak semata ucapan dan cita-cita

Sahabat, apa kabarmu hari ini? Kabar iman dan ukhuwahmu, masihkah di ambang keterpurukan seperti kala itu? Ketika kau datang dengan muka gelisah dan tanpa perasaan tenang. Diam, namun kutahu pikiranmu menerjemahkan banyak hal yang selalu menjadi pertanyaanmu di setiap keadaan. Bahkan beberapa kali kudapati sosok dirimu merenung dalam kegelapan, di bangku samping rumah tempat kita dan beberapa saudara seiman yang lain bermalam bersama setelah lelah beraktivitas seharian.

Aku tahu, dan kami semua tahu. Paham dengan kegeraman yang kau rasakan melihat kondisi realitas ummat ini yang belum juga bangkit dari keterpurukannya. Mengerti dengan kemarahan yang terpendam di hatimu melihat kurangnya partisipasi kaum ini dalam kancah perputaran dunia dalam abad teknologi. Atau kelemahannya dalam penyusunan visi misi, ide, gagasan dan cita-cita untuk dituangkan dalam amal pekerjaan agar bisa bangkit sejajar bahkan menjadi pemimpin dalam siklus peradaban.

Keluhanmu sudah terlalu sering kami dengarkan. Saat pagi ketika kita semua sarapan ala kadarnya di teras belakang, yang selalu kita jadikan ruang diskusi berbagai hal. Atau sore saat menunggu adzan dari menara masjid, untuk berbuka puasa bersama dengan segelas nutrisari dingin dan roti coklat. Pun saat kantuk mengusap pelupuk mata, masih sempat kalimat keluhan itu mengantar pikiran ke ambang tidur.

Engkau benar, sahabat. Tidak ada yang salah dengan keresahan, kegeraman, bahkan kemarahanmu dengan semua kondisi itu. Sekali lagi, tidak ada yang salah. Kami pun sepakat dengan semuanya. Tapi, jangan pernah melupakan satu hal. Tidak ada yang dapat dirubah dengan cepat. Semuanya butuh proses. Di sinilah salah satu makna Rasul kita yang mulia SAW mengajarkan makna perjuangan dan kesabaran.

Apakah engkau tidak menganggap pertemuan rutin dalam lingkaran kecil tiap pekannya adalah bagian dari marhalah/tingkatan menuju ke sana? Apakah rapat dan meeting yang kadang tak kenal waktu di sela aktivitas harian kita, bukan jalan meraih semua cita-cita besar itu? Kerja-kerja sosial, ajakan kepada kebaikan sekecil apapun pada setiap orang yang kita temui, memperbaiki setiap tradisi jahil yang ada dalam lingkup keluarga kita, bahkan menulis, membaca dan mengisi materi yang kadang menurutmu terlalu sederhana, semuanya mengarah pada kebangkitan kembali kejayaan generasi mulia ini. Yakinlah, semuanya mengarah ke sana. Hanya saja, sekali lagi semuanya butuh proses, tahapan kerja, doa dan terakhir kesabaran.

Ah, maaf sahabat. Aku tak bermaksud mengguruimu. Kutahu otak akademismu jauh melampaui keinginan besar yang oleh sebagian manusia bahkan tidak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Namun, mengapa kau menyia-nyiakannya dengan menghindar dan kemudian memilih berangkulan dengan keluh kesahmu dalam kesepian kesendirianmu? Ayolah, kami merindukanmu. Dalam barisan tahajjud yang tetap bercahaya di akhir malam, dalam kehangatan doa rabithah pengikat hati ddalam subuh yang menyejukkan, dalam kesyahduan yang tercipta kala kita duduk melingkar di tiap magrib, menyenandungkan kalam Ilahi dari bibir kita masing-masing. Dan dalam kebersamaan kita tiap sabtu-ahad, lari keliling kampus merah UNHAS, push-up, back-up, dan beragam pembentukan fisik lain yang kemudian kita akhiri dengan main bola dan taujih di penghujungnya sebelum bubaran.

Sebab, kerja besar yang kita usung juga membutuhkan persiapan fisik dan jiwa yang besar juga. Dan itu hanya bisa dipenuhi dengan persiapan ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah yang akan kau temukan dalam semua aktivitas yang telah engkau tinggalkan sejak memilih hening dalam kesendirian keluhanmu.

Sahabat, karya yang engkau dan kita semua cita-citakan harus dibarengi dengan banyak hal. Dan kerja adalah salah satunya. Sekecil dan seringan apapun. Ini tak akan bisa berubah hanya dengan ucapan dan cita-cita besar semata tanpa gerak nyata yang menghidupkannya. Apalagi hanya dengan keluh kesah semata.

Kembalilah, jangan berjalan sendirian dalam kegelapan. Di dunia ini, terhampar ribuan cahaya.