Sunday, January 07, 2007

dan langitpun menangis

Padang luas bernama bumi masih mengepulkan aroma pertarungan. Pertarungan dalam hakikat yang sebenarnya. Bukan semata konflik senjata dan kepentingan. Namun di atas semua itu, ideology yang menjadi raja penggerak. Menyisakan aroma wangi kematian yang menjemput ruh suci para syuhada. Utuh, ataukah tercabik. Di antara asesoris perlengkapan perang, pedang dan tameng yang pecah, patahan anak panah, sampai selongsongan peluru dan pecahan granat. Darah sucinya tumpah mengalir, menyirami bumi. Menyuburkannya untuk menumbuhkan generasi baru mujahid muda penerus panji risalah perjuangan. Kelahiran abadi, sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi, dan semua dien/millah/ agama hanya milih Al-Aziz semata, bisa dengan lantang diserukan.

Tubuh kaku mereka tergeletak sempurna. Tanpa daya dalam pandangan mata dunia. Namun, pantulan semangat perjuangan yang terpancar, akan terlihat dari kedalaman mata nurani manusia yang masih menjaga fitrah kesadarannya. Senyum yang terukir di lekukan bibirnya, melukiskan akhir kehidupan yang bahagia dalam kedamaian. Aroma wangi menyeruak, menyebar dalam pertalian udara sahara yang berubah sejuk. Awan menyatu, melindungi tubuh mulianya dari hantaman matahari panas. Perlahan, langit menurunkan berkah pencipta-Nya lewat curahan titik-titik air hujan. Suci. Mensucikan jasad dan ruh yang juga suci dengan kebeningan air syurga yang belum terjamah golongan makhluk manapun.

Mereka ada, nyata. Ikut berotasi dengan perputaran zaman. Sosok-sosok yang telah memahat arti hidup dalam sejarah perjalanan pergiliran generasi. Dari Hamzah bin Abdul Muthalib, pendahulu yang bergelar Singa Allah, sampai Al-Muhandis Yahya Ayyash Sang Insinyur. Dari Mu’adz bin Jabal Sang Diplomat dan Komandan Pasukan, sampai Syaikh Ahmad Yasin, penggerak Gerakan Sejati, Intifadhah, dari balik jeruji besi dan kursi roda yang setia menemani perjalanannya. Dari Mushab bin Umair, bangsawan dan idola pemuda di Makkah, sampai Ar-Rantisi yang cerdas dan kharismatik. Dari Sumayyah sang Mujahidah pertama, sampai Ayat Akhrash, mahasiswi pelaku sempurna istisyhadiyah (bom syahid).

Rentetan prosa panjang sejarah telah menorehkan banyak nama. Visi hidup mereka sama. Syurga dengan keridhoan Allah SWT semata. Hanya zaman tempat mereka berkarya yang terpisah. Mereka, dengan ideology yang mencakup semua makna gerakannya, telah memilih untuk berbeda. Menyerahkan semua harta, jiwa dan raganya untuk menjadi manusia-manusia langit. Ya, mereka telah menjelma menjadi manusia langit. Mengangkasa dengan segala keagungan dan kemuliaan. Bukan lagi manusia bumi yang tenggelam dalam pilihan maksiat dosa yang melenakan dan menenggelamkan dalam kebinasaan yang menghinakan. Maka Sang Maha Rahman pun menunjukkan Kasih Sayang-Nya. LANGIT MENANGIS UNTUK KEMATIAN DAN KESYAHIDAN MEREKA.

Diriku masih di sini. Mematung di sisa-sisa pagi. Menatap perjalanan mentari yang tetap berevolusi. Mencoba bergabung dengan barisan kafilah pembangun peradaban. Untuk bersama belajar dan beraksi merealisasikan makna penciptaan diri. Menyusuri jejak syuhada yang telah beristirahat, dinantikan keteduhan istana, kelembutan bidadari, dan kesegaran yang tak ada lagi kehausan setelahnya. Dengan puncak harapan, doa dan istikharah menapaki jejak peninggalan sang syahid agar dapat menjadi bagian dalam barisan yang RasuluLlah SAW sendiri menjadi pembawa panji-panjinya. Meski terseok, langkah harus tetap terayun.

Ah…apakah langit akan menangisi juga kepergianku nanti? Dengan tangisan yang sama dengan kesyahidan manusia-manusia langit? Semoga. Kabulkan ya…Robbana.