Thursday, August 16, 2007

lagi, tentang ibu

Saya hanya bisa diam dengan mata gerimis. Menyaksikan tubuhnya berbaring di kamar ICU pasca operasi. Rabbi, ketentuan-Mu memang terkadang sulit untuk ditebak. Tubuh yang biasanya selalu saya saksikan (di rumah di sinjai sana) tiap pagi setelah sholat subuh dengan lincah menyiram bunga dan menyiangi rumput yang tumbuh di pekarangan depan, atau sore hari selalu tersenyum di teras menyaksikan cucunya berlari-lari dan bermain air di bawah pohon mangga, kini tenang dengan mata terpejam. Hanya gerakan turun naik dari dadanya dengan nafas teraturnya yang kutemui magrib itu, kala izin membesuk masih tersisa 15 menit.

Terbayang ketegarannya di hari-hari lalu. Berjuang dan membesarkan kami, anak-anaknya. Hampir tak pernah kudengar keluhan dari bibirnya, yang ada hanya doa dan pengharapan pada Sang Maha Kudus di tiap rakaat sujud panjangnya. Doa akan keberhasilan dunia akhirat, dan harapan agar bermanfaat hidup dan kehidupan kami di semesta jagad ini. Senyumnya selalu mampu menetralisir kelelahan yang menghinggapi jasad, tiap kali menyambut kami pulang dari sekolah. Atau ketika kami mengetuk pintu rumah dengan ucapan salam kala kami pulang kampung ketika putaran waktu membawa kami menapaki jenjang universitas.

Selalu dan selalu. Makanan hasil masakan tangannya dan kue-kue bugis yang hampir tak pernah kosong mengisi lemari es di rumah kami tak pernah mampu tergantikan dengan fast food dan aneka kue yang namanya sendiri kadang tidak mampu kulafadzkan dengan baik yang sesekali kunikmati di keramaian kota makassar ini. Pun, sampai terakhir kalinya aku pulang kampung, masih saja ia dengan sabar menyelimuti tubuhku dengan selimut yang selalu tertidur di depan TV hingga larut malam. Tak pernah alfa, teguran lembutnya kala adzan sudah mengalun sementara aku masih meringkuk atau bermalas-malasan dengan laptopku.

Sekitar pukul 16, ketika kesadaran mulai menghampirinya karena pengaruh obat biusnya mulai berkurang sejak pukul 10 pagi tadi, ia berkata lemah setelah melirik jam dinding yang ada di sampingnya. ‘Mauka (saya mau) sholat dhuhur sama ashar dulu. Belumpa (saya belum) sholat dari tadi’. ‘Kapan operasinya kah? Kenapa belum mulai-mulai?’. Masih dengan mata kaca, kami tersenyum. ‘Mi...operasinya sudah selesai. Sekarang lagi di ruang ICU. Istirahat meki saja.

Ah, engkau makin membuatku kagum. Bahkan ketika kesadaranmu belum 100% pulih, hal pertama yang kau ingat adalah sholat. Seolah mengajari ulang diriku, yang kadang-kadang masih saja susah beranjak dari depan laptop kecuali panggilan iqomah sudah mengalun dari speaker masjid. Bahkan, 10 hari menjagamu di Rumah Sakit, tetap saja pelajaran-pelajaran kehidupan engkau perlihatkan kepadaku. Tentang kedisiplinan, semangat, baik sangka, kesabaran, sosialisasi dan ...dan...dan...lainnya.

Sungguh, jenjang pendidikanku memang lebih tinggi darimu yang tak satupun titel mengiringi namamu. Tapi, pelajaran yang kau tanamkan tak pernah kudapatkan di setiap jenjang sekolah dan universitas yang telah mencatatkan namaku sebagai bagian dari alumni mereka.

Terima kasih, ummi.

Labels: